Maraknya Kecelakaan di Pelintasan Sebidang Cermin Ketidakdisiplinan Warga
Penanganan kecelakaan yang melibatkan kendaraan bermotor dan kereta api di pelintasan sebidang selama ini dinilai belum optimal. Perlu ketegasan dan terobosan agar tingkat kecelakaan dapat ditekan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Penanganan kecelakaan yang melibatkan kendaraan bermotor dan kereta api di pelintasan sebidang belum optimal. Perlu ketegasan dan terobosan kebijakan agar tingkat kecelakaan dapat ditekan. Pihak yang meminta pembukaan pelintasan sebidang mesti bertanggungjawab jika ada kecelakaan.
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono, mengatakan, selama ini, apabila pelintasan sebidang liar ditutup, kerap muncul permintaan agar dibuka lagi. Namun, begitu kembali terjadi kecelakaan, tidak ada yang bertanggung jawab.
“Bahkan, ada yang hingga empat kali kecelakaan di tempat sama. Jatuh korban, tetapi seolah-olah tak terjadi apa-apa. Jadi, harus ditutup serta mendidik masyarakat untuk disiplin,” ujar Soerjanto di sela-sela Rapat Koordinasi Keselamatan Perkeretaapian di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (20/1/2020).
Menurut data Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, pada 2018, tercatat 4.854 pelintasan sebidang di Indonesia. Dari jumlah itu, 1.238 resmi dijaga, 2.046 tidak dijaga, dan 1.570 lainnya liar. Adapun pelintasan tak sebidang (flyover dan underpass) tercatat 384 buah.
Pada 2014-2018, terjadi 205 kecelakaan di pelintasan sebidang dijaga dan 1.174 di pelintasan sebidang tidak dijaga. Sebanyak 257 orang meninggal, 422 luka berat, dan 241 orang luka ringan.
Menurut Soerjanto, pihak yang ngotot untuk membuka kembali pelintasan sebidang, perlu menandatangani surat pernyataan akan bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan. “Siapapun itu, termasuk misalkan lurah/kades atau camat. Ini untuk kepentingan masyarakat,” katanya.
Menurut Pasal 91 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tak sebidang. Pengecualian hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.
Staf Ahli Menteri Perhubungan bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan, Cris Kuntadi, menjelaskan, membuat pelintasan agar tak sebidang bisa dengan flyover, underpass, atau ditutup. Jika masih tak bisa, maka harus dijaga, baik oleh orang, palang pintu, maupun keduanya.
“(Penutupan atau penjagaan terstandar) ini harus. Permasalahannya, tinggal kapan bisa terlaksana semua. Kewenangan tergantung jenis jalannya yakni jalan nasional (pemerintah pusat), jalan provinsi (pemprov), dan jalan kabupaten/kota (pemkab/pemkot),” ujarnya.
Menurut Cris, seluruh pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemprov, hingga pemkab/pemkot mesti bersama-sama mengutamakan faktor keselamatan jalan. Kuncinya yakni kemauan dari masing-masing pihak untuk memerhatikan kebutuhan masyarakat.
Cris menambahkan, pembangunan jalur KA ke depan mesti seperti membangun jalan tol. Artinya, saat ada potensi perpotongan dengan jalan, maka jalur bisa dibuat melayang, bawah jalan, atau bahkan sepenuhnya melayang (elevated). Ini menjadi salah satu solusi.
Kepala Seksi Perkeretaapian Dinas Perhubungan Jateng Fajar Ahmad, menuturkan dari 1.369 pelintasan di Jateng, 899 di antaranya tanpa penjagaan. Sebagian besar pelintasan sebidang itu berada di jalan kabupaten/kota. Salah satu kendala ialah keterbatasan pendanaan.
Kepala Subdirektorat Standar dan Pedoman, Direktorat Preservasi Jalan, Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Nanang Handono Prasetyo, menuturkan, pembangunan flyover dan underpass di pelintasan sebidang, di sejumlah kabupaten/kota di Jateng, Jawa Barat, dan Jawa Timur, sudah masuk dalam program PUPR hingga 2024.
“Ini menjadi perhatian kami dalam rangka menyelesaikan pelintasan sebidang KA menjadi tidak sebidang. Sesuai kewenangan, kami membangun di jalan nasional. Namun, juga terdapat kendala umum dalam pelaksanaannya, seperti pembebasan lahan dan pendanaan,” ujar Nanang.