Dorong Berpikir Kritis sejak Dini Lewat Penelitian
Al Irsyad Forum of Research and Experiment atau Airforce Fair 2020 digelar di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (17/1/2020) hingga Sabtu (18/1/2020).
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS – Al Irsyad Forum of Research and Experiment atau Airforce Fair 2020 digelar di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (17/1/2020) hingga Sabtu (18/1/2020). Lomba karya tulis ilmiah tingkat SMP dan pameran karya ilmiah tingkat SD itu digelar untuk mendorong berpikir kritis pelajar sejak dini.
”Kecakapan abad ke-21 seperti berpikir kritis dan kemudian kemampuan menyelesaikan masalah harus dipunyai anak-anak,” kata Ketua Harian Lajnah Pendidikan dan Pengajaran Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto Abdul Qohin, Jumat, di Purwokerto.
Abdul mengatakan, dalam proses penelitian, gagasan dan ide terlahir dari adanya suatu permasalahan yang ada di sekitar kita. Berpikir kritis dan inovatif merupakan jalan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
”Anak-anak semua adalah calon peneliti. Ide-ide dan gagasan harus senantiasa dikembangkan mengisi pembangunan berkelanjutan,” tuturnya.
Pembina Airforce Fair 2020 Nur Fitriani mengatakan, dari 119 karya yang masuk, sudah terseleksi sebanyak 49 karya ilmiah yang ada di ajang ini. Sebanyak 30 karya tingkat SMP dan 19 karya siswa tingkat SD.
”Peserta berasal dari Jakarta, Surabaya, Malang, dan Semarang. Karya meliputi teknologi, humaniora, dan sosial. Tujuannya, kami ingin membangun siswa bisa berpikir kritis,” ujarnya.
Muhammad Hanif dan Saifullah Ahmad, siswa kelas VIII dari SMP Islam Terpadu Al Uswah Surabaya, membawa alat bernama ”Strap”, singkatan dari Sampah Plastik Jadi Listrik dengan Peltier. Peltier adalah alat jika diberi listrik bisa menghasilkan panas di satu sisi dan dingin di sisi lainnya.
”Awalnya saya penasaran dengan dispenser mengapa bisa menghasilkan panas dan dingin. Di dalamnya ada peltier. Kemudian, saya coba membalik, pakai peltier ini untuk menghasilkan listrik,” kata Saifullah.
Alat itu kemudian dirakit untuk menjadi alat pembangkit listrik sederhana dengan memanfaatkan pembakaran sampah plastik rumah tangga dan juga aliran air di selokan. Pada simulasi yang ditunjukkan saat pamaren, peltier dipanaskan dengan nyala lilin dan di sisi lainnya diberi es batu. Energi yang dihasilkan mampu menyalakan sebuah lampu.
”Dengan 50 gram sampah plastik dan 50 gram es batu bisa dihasilkan listrik untuk menyalakan kipas angin dan charge HP,” tutur Hanif.
Peserta lainnya, Aldrich Wiraputra Standi (10) dan Samuel Mikael Kartawinata (10), siswa kelas V SD Sekolah Global Mandiri, Bogor, membawa karya penelitian berupa kertas bercampur daun lamtoro atau petai cina untuk mempercepat proses pematangan buah pisang.
”Biasanya untuk mematangkan buah memakai karbit. Itu berbahan kimia, untuk ngelas logam dan bahaya bagi kesehatan. Daun lamtoro ini, yang mengandung zat etilen, mempercepat pematangan buah,” kata Aldrich.
Menurut Aldrich, gagasan membuat Kertabu atau singkatan dari kertas pematangan buah dari lamtoro itu berawal dari program hidup sehat di sekolahnya yang setiap hari Jumat siswa diminta membawa buah. Sebagian besar siswa membawa pisang.
”Ada pisang yang totol-totol hitam, tapi ada juga yang kuning cerah. Ternyata yang totol-totol hitam itu memakai karbit,” katanya.
Untuk itu, daun lamtoro dicampur dalam bubur kertas bekas untuk dijadikan kertabu. ”Dengan kertabu ini, pisang bisa masak dalam waktu kurang dari dua hari. Kalau pakai karbit perlu waktu sampai 60 jam,” katanya.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Profesor Rifda Naufalin menyampaikan, tantangan penelitian bagi anak dan remaja adalah kurangnya literasi yang antara lain disebabkan minimnya minat membaca serta minimnya dukungan akomodasi bagi siswa kreatif untuk mengikuti ajang perlombaan ilmiah di luar kota.