Kredibilitas Komisi Pemilihan Umum yang terbangun lama tercoreng oleh penangkapan komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Kepercayaan terhadap KPU dinilai perlu dibangun kembali hingga ke daerah.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Kredibilitas Komisi Pemilihan Umum yang terbangun lama tercoreng oleh penangkapan komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Kepercayaan terhadap KPU dinilai perlu dibangun kembali hingga ke daerah. Pemilihan Kepala Daerah 2020 hendaknya menjadi momentum mengembalikan kepercayaan publik.
Koordinator Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Kalimantan Barat, Umi Rifdiyawaty, Minggu (12/1/2020), menuturkan, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota KPU menggerus kepercayaan publik terhadap KPU. KPU perlu bekerja keras mengembalikan kepercayaan publik.
”Kepercayaan merupakan modal bagi penyelenggara pemilu dan ketika terjadi OTT langsung berdampak terhadap hal itu. Maka, Pilkada 2020 menjadi momentum mengembalikan kepercayaan publik itu, termasuk di daerah. Ini mengingat di Kalbar ada tujuh kabupaten yang akan menggelar pilkada,” ujar Umi.
Tujuh kabupaten yang akan melaksanakan pilkada serentak pada 2020 yakni Kabupaten Ketapang, Bengkayang, Sambas, dan Sekadau. Kemudian, Kabupaten Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu.
Kepercayaan merupakan modal bagi penyelenggara pemilu dan ketika terjadi OTT langsung berdampak terhadap hal itu. Maka, Pilkada 2020 menjadi momentum mengembalikan kepercayaan publik itu, termasuk di daerah. Ini mengingat di Kalbar ada tujuh kabupaten yang akan menggelar pilkada.
Umi menuturkan, upaya yang bisa dilakukan KPU di daerah untuk turut mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, misalnya, dengan transparan pada setiap tahapan pemilu dan menjaga integritas.
”Mengembalikan kepercayaan publik memang tidak mudah, tetapi hendaknya tetap optimistis. KPU Provinsi Kalbar dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu melakukan supervisi ke daerah untuk memastikan tidak adanya pelanggaran serupa,” paparnya.
Kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu sangat penting. Sebab, jika tidak dipercaya publik dapat memicu protes terhadap hasil pemilu nantinya. ”Tidak melakukan pelanggaran saja terkadang ada protes, apalagi seandainya terjadi pelanggaran,” ujarnya.
Komisioner Bawaslu Provinsi Kalbar, Faisal Riza, menuturkan, setiap tahapan pemilu berpotensi terjadi pelanggaran. Maka, pihaknya sudah mengingatkan seluruh jajaran di tujuh kabupaten yang akan melaksanakan pilkada untuk memastikan semua tahapan sesuai dengan prosedur yang berlaku nantinya melalui fungsi pengawasan.
”Kami nanti membangun sistem pengawasan yang memunculkan partisipasi pengawasan dari publik. Salah satunya dengan membuka kontak pengaduan sehingga setiap tahapan bisa diawasi,” kata Faisal.
Hal yang sangat rawan terjadi pelanggaran jika terjadi dualisme kepengurusan partai. Kemudian, jika ada calon perseorangan. Calon perseorangan rawan karena pengawasan tidak sepenuhnya bisa dilakukan publik dalam tahap verifikasi faktual dukungan calon.
Anggota KPU Kabupaten Sintang, Edi Susanto, menuturkan, KPU Sintang sendiri berkomitmen tetap menjaga kepercayaan publik dengan mengikuti mekanisme yang sudah ada dan menaati ”rambu-rambu” yang ada. Sintang merupakan satu dari tujuh kabupaten yang akan melaksanakan Pilkada 2020.
Politik identitas
Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu memang perlu terus dijaga. Apalagi, di Kalbar, setiap tahun ada kecenderungan di beberapa wilayah selalu kental dengan politik identitas.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Jumadi, beberapa waktu lalu, mengatakan, ada beberapa daerah dari tujuh kabupaten yang akan melaksanakan pilkada yang kental dengan politik identitas. Hal itu didasarkan pada pengalaman pilkada sebelumnya.
Daerah yang kental nuansa politik identitasnya di Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, dan Ketapang. Maka, perlu bersama-sama mengantisipasi potensi dan kemungkinan politik identitas berdampak tidak baik untuk integrasi sosial.