Generasi milenial atau kelahiran setelah 2000 perlu terus diyakinkan tentang Pancasila untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Generasi milenial atau kelahiran setelah 2000 perlu terus diyakinkan tentang Pancasila untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengamalan Pancasila dalam kehidupan akan mampu mencegah dan mengatasi ancaman dan masalah eksklusivitas, intoleransi, disintegrasi, dan atau terorisme yang mengiringi perjalanan bangsa dan negara ini di masa depan.
Pandangan ini mengemuka dalam Seminar Kebangsaan Pancasila-Nial, Pancasila Milenal di Gedung Pascasarjana Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (12/1/2020). Simposium menghadirkan asisten Staf Khusus Presiden Alois Wisnuhardana; Aan Anshori dari Jaringan Islam Antidiskriminasi dan dosen pancasila Universitas Ciputra; anggota Badan Penasihat Orang Muda Internasional Agatha, Lidya Natania; dan Pastor Pelayanan Pastoral Mahasiswa Keuskupan Surabaya RD Yuventius Devi Ghawa.
Mengutip survei peta opini radikalisme pelajar oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Aan mengatakan, hanya Papua Barat, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, Gorontalo, dan Kalimantan Tengah yang dikategorikan putih atau sangat toleran.
Di Sumatera, cuma Jambi dan Lampung yang netral atau selebihnya intoleran dan amat intoleran. Di Jawa, Jawa Tengah masih kategori toleran, sedangkan Jawa Timur netral.
”Netral ini lebih berisiko menjadi intoleran daripada toleran,” kata Aan. Kalangan pelajar atau milenial berkecenderungan intoleran karena diajarkan di keluarga bahkan sekolah. Mengutip survei PPIM lainnya, lanjut Aan, 63 persen guru agama berpandangan intoleran. Akhirnya, siswa-siswi mustahil diajarkan tenggang rasa. Saat dewasa, tidak mengherankan jika sikap intoleransi itu menjadi pemahaman bahkan laku kehidupan.
”Netral ini lebih berisiko menjadi intoleran daripada toleran,” kata Aan
Menurut Agatha, generasi milenial seperti dirinya mungkin ada yang benar-benar tidak dikenalkan dengan Pancasila. Namun, pengenalan Pancasila jangan seperti di masa lalu yang cenderung pada penghafalan. Pancasila perlu terus dipandang secara kritis.
Ingat selalu dengan pola pengajaran yang tak baik bisa membawa efek traumatis. Misalnya, seorang murid diminta untuk mengucapkan Pancasila tetapi tidak hafal sehingga dirundung oleh guru dan teman-temannya. Jika ini masih berlangsung, mungkin pengajaran Pancasila akan membawa efek negatif misalnya tidak diterima dalam pemikiran dan kehidupan seseorang.
”Pengenalan dan pembahasan tentang Pancasila harus terus dilakukan secara kreatif,” kata Agatha. Meski terkait dengan ideologi atau hal yang dirasa berat, membicarakan Pancasila bisa dengan sesuatu yang ringan, misalnya sambil diskusi di kedai kopi atau pusat belanja. Generasi milenial perlu didorong untuk tidak tabu membahas kepentingan bangsa dan negara, misalnya ancaman intoleransi atau radikalisme, tetapi dengan rileks.
”Kehidupan seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya sejak kecil. Jika sejak kecil diajari tidak toleran, ya, saat dewasa sulit baginya untuk menerima perbedaan,” kata Yuventius
Terus mengajarkan
Menurut Yuventius, intoleransi hanya bisa diatasi dengan terus mengajarkan dan menghidupkan toleransi sejak usia dini. Misalnya, tak mempersoalkan anak-anak bermain dengan yang berbeda suku, agama, dan golongannya. Ajarkan anak-anak untuk tidak alergi datang ke berbagai tempat ibadah untuk melihat keragaman dalam konteks rahmat spiritual.
”Kehidupan seseorang pada masa dewasa sangat dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya sejak kecil. Jika sejak kecil diajari tidak toleran, ya, saat dewasa sulit baginya untuk menerima perbedaan,” katanya.
Wisnuhardana mengatakan, pemerintah akan berusaha sekuat tenaga untuk mendorong program-program memperkuat toleransi, terutama dalam pendidikan dan keagamaan. Pemerintah perlu diingatkan untuk mendorong silaturahim antarumat, antarsekolah, antarkelompok. ”Misalnya, sekolah minggu silaturahim dengan pondok pesantren. Hal-hal seperti ini perlu terus disemai dan dipelihara,” katanya.
Aan mengatakan, Pancasila bisa merupakan jalan seseorang untuk menunjukkan keluhuran manusia dilihat dari sila pertama hingga kelima. Seseorang yang mengakui ketuhanan (sila pertama) akan menjadi utuh dengan meninggikan kemanusiaan (sila kedua), menjaga persatuan Indonesia (sila ketiga), secara demokratis (sila keempat), untuk keadilan sosial (sila kelima).
Yuventius sepakat dengan pandangan Pancasila mampu menunjukkan keluhuran manusia. ”Mungkin juga bisa untuk menggambarkan jalan keimanan,” ujarnya.