NTB Usulkan Desa Kelola 680.000 Hektar Hutan Kritis
Pemprov NTB mengusulkan pelibatan desa untuk mengelola sekitar 680.000 hektar areal hutan dan lahan kritis di daerah tersebut.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mengusulkan pelibatan desa untuk mengelola sekitar 680.000 hektar areal hutan dan lahan kritis di daerah tersebut. Selain memulihkan ekosistem hutan, kebijakan ini sekaligus diharapkan mendongkrak kesejahteraan masyarakat desa.
“Wakil Gubernur NTB (Sitti Rohmi Djalilah) sudah mengusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta. Intinya, kami siapkan lahan, pemerintah desa menyiapkan dana desa untuk pengadaan bibit, dan badan usaha milik desa (BUMDes) selaku pengelola,” ujar Dani Mukarom, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, Jumat (10/1/2020), di Mataram.
Menurut Dani, jumlah desa yang berada di pinggiran hutan kritis di NTB sebanyak 486 desa. Jika tiap desa diberi hak kelola 1.000 hektar hutan, maka seluas 486.000 hektar hutan dan lahan kritis bisa direhabilitasi. Jumlah itu sudah mencakup 71 persen dari total seluruh hutan dan lahan kritis di NTB.
Pelibatan desa dan masyarakat lingkar hutan dalam pengelolaan hutan itu diprioritaskan pada kawasan hutan gundul dan berpotensi tinggi menimbulkan konflik.
Saat ini, tercatat 680.000 hektar lahan kritis di NTB berada di dalam kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Dari jumlah itu, seluas 96.238,24 hektar lahan hutan sudah gundul total. Hutan-hutan gundul itu tersebar di 9 kabupaten/kota, paling banyak di Sumbawa (30.291 hektar), Dompu (16.690 hektar), dan Bima (15.790 hektar).
Untuk tahap awal, Dani mengungkapkan, pelibatan desa dan masyarakat lingkar hutan dalam pengelolaan hutan itu diprioritaskan pada kawasan hutan gundul dan berpotensi tinggi menimbulkan konflik. Tanaman yang dikembangkan adalah tanaman produktif yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial kepada masyarakat dan BUMDes.
Di antara jenis tanaman produktif yang potensial dikembangkan yakni durian, manggis, dan mangga. Ada pula jenis tanaman konservasi seperti kayu sentul, rajumas, dan kaliasem.
Project Leader Nusa Tenggara WWF Indonesia M Ridho Hakim menyambut baik gagasan memberi ruang bagi desa dan masyarakat untuk mengelola hutan. Ini mengingat ratusan desa yang berbatasan dengan hutan masyarakatnya umumnya berada di garis kemiskinan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka membuka areal hutan untuk bercocok tanam. Hal itu kemudian berdampak pada persoalan lingkungan dalam berbagai bentuk, seperti banjir dan tanah longsor.
Menurut Ridho, Pemprov NTB perlu melakukan pemberdayaan masyarakat lingkar hutan. Hal itu mengingat kawasan hutan di provinsi yang terdiri dari dua pulau besar, yakni Lombok dan Sumbawa, ini sudah rusak. Selain kayunya dirambah, areal hutan juga dibuka untuk bercocok tanam.
Contohnya, di Kabupaten Dompu, banyak wilayah perbukitan terjal dijadikan areal budidaya tanaman jagung. Kondisi itu disaksikan Gubernur NTB Zulkieflimansyah, pada 12 Desember 2019, saat berkunjung ke Kabupaten Dompu. Warga saat itu sedang membakar semak belukar di areal yang akan ditanami jagung.
Namun, untuk memulihkan kembali kawasan hutan lewat program yang digagas Pemprov NTB itu, kata Ridho, desa dan masyarakatnya harus siap. Upaya pemulihan lingkungan hutan diperkuat dengan skema, rancangan aksi, mekanisme, dan alokasi peruntukan pembiayaan yang jelas.
“Diuji coba dulu pada beberapa desa untuk melihat apakah skema itu berjalan dengan baik atau tidak. Model pendampingan dan pembinaannya mengacu kepada tradisi yang berbeda tiap desa,” ucap Ridho.
Dana desa
Harmini, Kepala Desa Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, mengatakan, ide pelibatan desa dalam mengelola hutan sangat baik. Hanya saja, penggunaan dana desa dalam kebijakan itu perlu dipertimbangkan lagi.
Hal itu karena dana itu sudah jelas peruntukannya, yang diatur dalam Sistem Keuangan Desa (Siskeudes). Penggunaan dan alokasi dana desa dimonitor oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Tahun ini, Desa Sembalun mendapat dana desa sekitar Rp 1,54 miliar. Dana itu antara lain digunakan untuk pembukaan jalan, rabat jalan, saluran irigasi di sentra-sentra budidaya pertanian, dan membuka akses ke obyek wisata Bukit Pergasingan. Dengan adanya jalan di sentra kegiatan pertanian, Harmini mengatakan, akan mengurangi ongkos buruh dari Rp 50.000 per kuintal menjadi Rp 15.000-Rp 20.000 per kuintal.
“Ini prioritas kami tahun ini. Maka, kalau Pemprov NTB dan Pemkab Lombok Timur mengambil dana desa itu untuk penghijauan, saya pikir mari duduk bersama untuk membicarakannya. Jangan sampai kami mendapat masalah hukum nantinya,” ujar Harmini.