Setelah sempat dilanda angin kencang dan ombak tinggi sejak akhir pekan lalu, para nelayan pesisir selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (9/1/2019) mulai kembali melaut.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Setelah sempat dilanda angin kencang dan ombak tinggi sejak akhir pekan lalu, para nelayan pesisir selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (9/1/2019) mulai kembali melaut. Namun, mereka tetap diingatkan agar waspada karena cuaca buruk masih berpotensi terjadi.
Para nelayan sempat berhenti melaut sejak Jumat (3/1). Berdasarkan pantauan pada Kamis siang, perahu-perahu nelayan sudah beroperasi di Pantai Samas, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Cuaca terpantau landai. Ombak laut tampak tenang sehingga nelayan cukup aman menjaring ikan.
Para nelayan itu mulai melaut sejak pukul 05.00. Mereka kembali ke pantai pukul 11.00 hingga 13.00. Setelah itu, ikan yang didapat langsung dijual di Tempat Pelelangan Ikan Pantai Samas.
Misto (43), salah satu nelayan mengaku bisa menjual hasil tangkapannya seharga Rp 500.000. Uang tersebut masih harus dipotong ongkos bensin dan dibagi dengan anak buah kapal. Namun, hasil ini dianggap lumayan dibandingkan hari-hari sebelumnya.
“Kami sempat terganggu cuaca ekstrem. Itu terjadi sejak Jumat, pekan lalu. Anginnya kencang. Ombaknya bisa 5-6 meter tingginya. Tapi, namanya cuaca, kami hanya bisa menerima. Pertimbangannya risiko keselamatan buat kami,” kata Misto.
Misto menuturkan, saat tidak melaut, ia hanya berada di rumah. Hal yang dilakukannya adalah menjahit jaring dan memperbaiki kondisi peralatan melaut. Ia juga mencoba menjaring ikan di sungai-sungai yang berada di desanya. Ikan tangkapan dari sungai tidak dijual, tetapi dikonsumsi sendiri bersama keluarganya.
Ketua Kelompok Nelayan Mina Samudra Pantai Samas, Sigit Budi Santoso menyampaikan, selama angin kencang dan ombak tinggi, nelayan mengalihkan kesibukannya pada kegiatan lain. Mulai dari menjaring ikan di sungai, bercocok tanam, hingga mencari sampah plastik untuk dijual kembali demi menyambung hidup.
Selain itu, lanjut Sigit, nelayan cenderung memilih untuk tidak melaut karena risikonya tinggi. Angin kencang dan ombak tinggi mengancam keselamatan. Hasil yang diperoleh dari laut juga tak pasti mengingat terjadi paceklik sejak awal Desember. Ikan yang bisa ditangkap jumlahnya tidak banyak sehingga kurang mampu menutup biaya operasional.
“Hari ini lumayan banyak. Satu perahu bisa dapat Rp 500.000-Rp 700.000. Itu belum dipotong biaya operasional Rp 250.000-Rp 300.000. Kemarin, paling banyak satu nelayan cuma bisa jual Rp 400.000. Belum lagi kalau ombaknya tinggi atau angin kencang. Jadi lebih baik tidak melaut lebih dulu,” ujar Sigit.
Henri (37), nelayan Pantai Depok, mengungkapkan, para nelayan juga mulai banyak yang beroperasi di Pantai Depok, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Bantul. Setidaknya, ada sekitar 20 perahu beroperasi.
“Hari ini ombaknya memang lebih tenang. Jadi lebih banyak yang berani masuk laut,” ujar Henri.
Henri mengaku tidak melaut sejak akhir Desember 2019. Kala itu, DIY mulai memasuki musim hujan. Angin kencang kerap terjadi. Ombak pantai bisa berkisar 3-4 meter. Baginya, faktor keselamatan menjadi hal yang paling utama sehingga memutuskan tidak melaut.
Secara terpisah, Kepala Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta Reni Kraningtyas menjelaskan, kondisi cuaca ekstrem di DI Yogyakarta masih akan berlangsung hingga 12 Januari. Cuaca ekstrem itu berupa hujan lebat dan angin kencang. Kecepatan angin bisa mencapai 35 kilometer per jam. Adapun potensi ketinggian ombak di pantai selatan berkisar 2,5-3,5 meter.
“Untuk itu, baik nelayan maupun wisatawan yang beraktivitas diharapkan waspada dan berhati-hati terhadap gelombang tinggi di perairan selatan DIY. Selalu perhatikan imbauan petugas di sekitar pantai,” kata Reni.
Menurut Reni, terdapat dua penyebab fenomena alam tersebut. Pertama, berkurangnya pola tekanan udara rendah di Belahan Bumi Utara dan meningkatnya pola tekanan udara di Belahan Bumi Selatan. Kondisi itu mengindikasikan peningkatan aktivitas aliran angin Moonsun Asia.
Adapun penyebab kedua adalah peningkatan pola tekanan udara rendah di sekitar Benua Australia. Hal ini membentuk pola konvergensi atau belokan angin. Dampaknya berupa pertumbuhan awan hujan di bagian selatan ekuator.