Pilkada Momentum Memilih Pemimpin Peduli Lingkungan
Pemilihan kepada daerah serentak 2020 hendaknya menjadi momentum memilih pemimpin yang peduli lingkungan. Sebab, kerusakan lingkungan berawal dari kebijakan yang salah.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Pertambangan emas ilegal di Sungai Kapuas, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat Juni lalu.
PONTIANAK, KOMPAS – Pemilihan kepada daerah serentak 2020 hendaknya menjadi momentum memilih pemimpin yang peduli lingkungan. Sebab, kerusakan lingkungan berawal dari kebijakan yang salah. Lingkungan selama ini belum dianggap isu strategis.
Tujuh kabupaten yang akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 2020 di Kalbar, yakni Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, dan Sekadau. Selain itu, Kabupaten Ketapang, Bengkayang, dan Sambas. Banyak pekerjaan rumah yang dihadapi calon kepada daerah, salah satunya isu lingkungan.
Misalnya tiba-tiba datang investor yang menggarap hutan di wilayah mereka. Kerusakan lingkungan berawal dari kebijakan yang tidak tepat. Kalau kedepan pemimpin tidak pro lingkungan, penyelamatan lingkungan kian sulit, ujar Nikodemus.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Nikodemus Ale, Selasa (7/1/2020), menuturkan, dalam konteks lokal pada tingkat masyarakat dan komunitas di desa-desa, sebetulnya sudah sangat peduli terhadap lingkungan. Namun, upaya itu terhalang kebijakan yang tidak pro lingkungan.
“Misalnya tiba-tiba datang investor yang menggarap hutan di wilayah mereka. Kerusakan lingkungan berawal dari kebijakan yang tidak tepat. Kalau kedepan pemimpin tidak pro lingkungan, penyelamatan lingkungan kian sulit,” ujar Nikodemus.
Selama ini, isu lingkungan belum dianggap isu strategis bagi pengambil kebijakan. Maka, pada Pilkada 2020 menjadi momentum untuk mendorong pemimpin yang memiliki perspektif lingkungan yang baik untuk menyelamatkan lingkungan.
“Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pun bisa berpihak pada lingkungan. Kerusakan lingkungan tidak terlepas dari produk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada berbagai jenjang,” ujarnya.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Rumah warga di Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, rusak parah diterjang banjir bandang, akhir Agustus 2017 lalu. Bahkan, tidak sedikit yang hanyut. Banjir itu menunjukkan degradasi lingkungan yang semakin parah akibat alih fungsi lahan untuk berbagai investasi secara besar-besaran.
Potret kerusakan lingkungan itu misalnya, daerah aliran sungai (DAS) di Kalbar banyak kritis. Data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta ha luas DAS di Kalbar, 1,01 juta ha sudah kritis, sebagian besar yang kritis di DAS Kapuas.
Namun, menurut Walhi Kalbar, DAS Kapuas dan sub-sub DAS Kapuas saja luasnya sekitar 10 juta ha. Dari luasan itu, DAS Kapuas dan sub-sub DAS Kapuas yang kritis sudah mencapai 70 persen.
Penyebab DAS rusak karena berbagai aktivitas di sekitarnya, salah satunya pertambangan emas tanpa izin. Bahkan, di kawasan penyangga yang menjadi sumber air juga digarap. Aktivitas itu marak sekali di sekitar sungai.
Pemberian izin tidak memperhatikan aspek keberlangsungan sungai. Pembukaan perkebunan sampai di bantaran sungai. Sungai Kapuas melintasi beberapa kabupaten yang akan melaksanakan pilkada, yakni Kapuas Hulu, Sintang, Melawi dan Sekadau.
Guru Besar Fakultas Pertanian Magister Ilmu Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak Gusti Anshari, menuturkan, Sungai Kapuas kaya keanekaragaman hayati dan terdapat bahan-bahan tambang misalnya emas.
Hutan dan gambut
Kondisi hutan dan gambut di sekitarnya turut mempengaruhi. Kawasan hutan di sekitarnya rusak dan mengganggu sistem hidrologi, termasuk gambut yang di hulu dan di sekitarnya. Gambut di Kapuas Hulu, misalnya bahkan bisa dikatakan tertua juga sudah rusak, sehingga memengaruhi sungai.
“Jika gambut dan hutannya rusak maka tidak bisa menyimpan air. Dengan kondisi bentang alam yang rusak, air semuanya masuk ke sungai,” paparnya.
Saat musim kemarau debit air cepat berkurang. Kalau musim hujan air sungai cepat naik. Hal itu karena kondisi bentang alamnya tidak mendukung lagi. Apalagi, dahulu pernah ada penebangan kayu liar serta konversi lahan.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Perkebunan sawit hanya berjarak beberapa meter saja dari Sungai Kapuas di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Minggu (30/6/2019).
Belum lagi deforestasi karena alih fungsi lahan. Catatan Kompas, berdasarkan data Walhi Kalbar hutan Kalbar yang terkena deforestasi pada 2015-2016 saja sudah mencapai 124.956 hektar (ha). Luas itu, terdiri dari luas hutan primer dan sekunder yang hilang mencapai 124.657 ha dan luas hutan tanaman yang hilang mencapai 299 ha. Laju deforestasi Kalbar per tahun rata-rata mencapai 42.000 ha.
Jika gambut dan hutannya rusak maka tidak bisa menyimpan air. Dengan kondisi bentang alam yang rusak, air semuanya masuk ke sungai, kata Gusti Anshari,
Secara nasional, Forest Watch Indonesia mengumumkan deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2013-2017 mencapai 5,7 juta hektar atau 1,46 juta ha per tahun. Kondisi deforestasi itu berelasi dengan risiko bencana banjir di tiap daerah.
Gubernur Kalbar Sutarmidji dalam berbagai kesempatan, menuturkan, melalui program desa mandiri khsusunya dalam dimensi ketahanan ekologi upaya perbaikan lingkungan menjadi bagian penting. Desa bisa ikut ambil bagian perbaikan lingkungan melalui dimensi ketahanan ekologi. Empat tahun kedepan Kalbar ditargetkan memiliki 425 desa mandiri.