Maestro seni jaipongan Indonesia, Gugum Gumbira, tutup usia di Bandung, Sabtu (4/1/2020), dalam usia 74 tahun. Kepergian almarhum dianggap sebagai kehilangan besar bagi kehidupan kesenian rakyat Jawa Barat.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Maestro seni jaipongan, Gugum Gumbira (74), tutup usia di Bandung, Sabtu (4/1/2020). Kepergian almarhum merupakan kehilangan besar bagi kehidupan kesenian rakyat Jawa Barat.
Gugum Gumbira meninggal pukul 01.59 WIB di Rumah Sakit Santosa, Bandung. Berdasarkan informasi dari pihak keluarga, Gugum mengalami komplikasi jantung, stroke, dan infeksi paru-paru. Kesehatan almarhum mulai menurun sejak menjelang pergantian tahun 2020.
Sebelumnya, pada Selasa (31/12/2019), Gugum tidak sadarkan diri dan dibawa ke RS Santosa. Dia sempat dipindahkan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk dilakukan pemeriksaan lebih intensif, lalu kembali ke RS Santosa. Namun, Kamis (3/1/2020), kondisi kesehatannya mulai menurun dan akhirnya meninggal setelah mendapatkan penanganan medis lebih kurang tiga hari.
Inten Shaomi Febrisya (23), cucu almarhum, menuturkan, kondisi jantung maestro kelahiran Bandung, 4 April 1945, itu melemah satu tahun terakhir. Gugum yang biasanya aktif berkarya dalam kurun waktu tersebut lebih banyak beristirahat.
”Kegiatan terakhir beliau itu di Jalan Merdeka saat menyambut hari HAM Internasional. Beliau dulu pernah terkena stroke sekitar lima tahun yang lalu. Sempat sembuh, tetapi kemarin stroke lagi,” tutur Inten saat ditemui di rumah duka.
Sejak pukul 07.00 WIB, rumah duka Gugum yang terletak di Jalan Kopo, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, dipenuhi para pelayat. Selain keluarga dan kerabat, sebagian pelayat berasal dari sejawat seniman, akademisi, serta murid-murid yang pernah diajar almarhum.
Gugum adalah budayawan Sunda yang mengembangkan tarian tradisional jaipongan. Gugum memopulerkan jaipongan di Bandung, yang dibawa dari Karawang era 1970-an. Gugum mengambil ragam jaipongan dari tari pergaulan dari berbagai daerah yang telah eksis sebelumnya, seperti bajidor dan doger (Karawang), banjet (Subang), kliningan (Kuningan), serta tayub dan longser (Sumedang) (Kompas, 2010).
Ketua Dewan Kebudayaan Jabar Ganjar Kurnia menuturkan, Jawa Barat kehilangan salah satu aset budaya terbesarnya. Gugum dalam kiprahnya, tutur Ganjar, telah memberikan banyak kontribusi dalam pelestarian budaya Sunda melalui jaipong.
Gugum adalah seniman yang berhasil menggabungkan seni dari pantura dan tanah Priangan dengan sentuhan jaipong. (Ganjar Kurnia)
Ganjar yang juga pernah menjadi Rektor Universitas Padjadjaran periode 2007-2015 itu menuturkan, pihaknya sempat bekerja sama dengan Gugum dalam mengeksplorasi kesenian jaipong tahun 2010 di Unpad. Dalam kegiatan tersebut, Ganjar melihat Gugum sebagai seniman dengan kemampuan multitalenta.
”Gugum adalah seniman yang berhasil menggabungkan seni dari pantura dan tanah Priangan dengan sentuhan jaipong. Dia sangat berkontribusi dalam pelestarian budaya tradisional. Kami merasa sangat kehilangan,” tuturnya.