Berpotensi Picu Longsor, Tambang Pasir di Gunung Merapi Belum Ditutup
Penambangan pasir dan batu di aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi berpotensi meningkatkan risiko bencana longsor di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Meski demikian, Pemprov Jawa Tengah belum menutup tambang.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Penambangan pasir dan batu di aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi berpotensi meningkatkan risiko bencana longsor di tiga kecamatan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Meski demikian, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah belum menutup lokasi tambang galian C tersebut.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Gunawan Iman Suroso, Jumat (3/1/2020), mengatakan, tiga wilayah yang dimaksud adalah Kecamatan Dukun, Srumbung, dan Sawangan.
Menurut dia, pemetaan potensi bencana hanya bisa dilakukan mengacu pada informasi terkait aktivitas penambangan, termasuk tentang longsor sebelumnya di kawasan tersebut. Namun, hal itu akhirnya tidak bisa dilakukan karena warga sekitar ataupun pekerja yang terlibat dalam kegiatan penambangan tidak pernah terbuka memberikan informasi.
Sikap tertutup warga bahkan masih sering ditunjukkan saat ada informasi bencana longsor di sekitar kawasan tambang. ”Setiap kali kami mencoba melakukan konfirmasi terkait informasi longsor yang menimbun truk pasir ataupun petambang, biasanya warga ataupun pekerja akan langsung membantahnya,” ujarnya, Jumat (3/1/2020).
Penambangan bahan galian C berupa pasir dan batu dilakukan di sepanjang alur 10 sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Sejak lama, penambangan ini telah merusak lingkungan karena dilakukan secara sembarangan sehingga merusak lahan pertanian warga. Sebagian pekerja bahkan juga pernah nekat menambang hingga masuk ke wilayah Taman Nasional Gunung Merapi.
Oleh karena sejak 2011 tak ada erupsi besar yang menyebabkan Gunung Merapi mengeluarkan banyak material, para pelaku penambangan dikhawatirkan kian nekat mengeruk pasir dan batu di mana pun tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Menurut Gunawan, kondisi tersebut membahayakan wilayah sekitar aliran sungai.
”Dengan tingginya intensitas hujan dan kondisi sebagian wilayah memang banyak terdapat tebing-tebing tinggi, maka tiga kecamatan tersebut memang rawan longsor,” ujarnya.
Gunawan mengatakan, pihaknya tidak bisa menutup kawasan penambangan. Pasalnya, aktivitas penambangan di kawasan Merapi saat ini berada di bawah kewenangan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah.
Selain tiga kecamatan yang rawan longsor karena aktivitas penambangan, menurut Gunawan, terdapat 11 kecamatan rawan longsor. Sejumlah wilayah tersebut memiliki kontur alam dikelilingi tebing-tebing atau berlereng curam dan karakter tanah labil. Potensi tersebut tersebar di lebih dari 220 desa.
Sebagai bentuk antisipasi, Gunawan mengatakan, pihaknya sudah membagikan 28 peralatan peringatan dini bencana (early warning system) kepada 25 desa. Warga di desa-desa lainnya diminta tetap meningkatkan kewaspadaan dan memberikan peringatan dini kepada warga di sekitarnya dengan memanfaatkan kentongan.
Sementara itu, terkait penambangan di aliran sungai lereng Gunung Merapi, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jateng Sujarwanto Dwiatmoko mengakui, pihaknya tidak mengeluarkan instruksi larangan menambang ataupun menutup kawasan penambangan pada musim hujan.
Kendati demikian, menurut Sujarwanto, pihaknya telah berupaya mencegah potensi bencana dengan melakukan sosialisasi dan meminta para petambang untuk selalu waspada terhadap potensi banjir lahar dingin, banjir bandang, dan longsor di sekitar Gunung Merapi.
”Kami sudah meminta mereka selalu waspada dan cepat menyingkir dari lokasi saat kondisi dirasa membahayakan,” ujarnya. Sujarwanto menambahkan, para pelaku penambangan juga relatif terlatih menghadapi situasi tersebut.
Saat ini, di Kabupaten Magelang masih berlangsung aktivitas penambangan berizin yang tersebar di lima lokasi. Namun, di luar itu, masih banyak penambangan tak berizin yang sering kali muncul dan berhenti tiba-tiba. Terakhir, tahun lalu, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah mengamankan alat-alat berat yang dipakai tiga pemilik usaha penambangan.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Temanggung Gito Walngadi mengatakan, ratusan desa di 16 kecamatan di Kabupaten Temanggung rawan longsor. Ia mengatakan, pihaknya telah mengimbau warga di daerah rawan longsor untuk secepatnya menyingkir dari rumah saat hujan deras.
”Saat turun hujan deras, sebisa mungkin warga di daerah rawan longsor harus pergi ke tempat yang lebih aman di rumah tetangga atau di rumah kerabatnya,” ujarnya.
Pada Desember, warga juga sudah berupaya melakukan mitigasi bencana dengan menutup rekahan-rekahan tanah yang muncul saat musim kemarau dengan menggunakan tanah lempung.
Sebelumnya, pada 1 Januari lalu, bencana longsor sudah terjadi di tiga dusun dari dua desa di Kecamatan Kaloran dan Pringsurat. Dengan kesiapsiagaan warga, bencana tersebut tidak menimbulkan korban jiwa, tetapi menimbulkan kerugian material sekitar Rp 14 juta.