Kawasan terlanda bencana alam tahun lalu di Sulawesi Selatan rentan diterjang hal yang sama kali ini. Antisipasi dan persiapan dini harus dilakukan seiring meningkatnya potensi banjir dan longsor.
Oleh
saiful rijal yunus
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS - Kawasan terlanda bencana alam tahun lalu di Sulawesi Selatan rentan diterjang hal yang sama kali ini. Antisipasi dan persiapan dini harus dilakukan seiring meningkatnya potensi banjir dan longsor. Upaya pembenahan daerah aliran sungai di hulu dan hilir mendesak dilakukan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Gowa Ikhsan Parawansa menjelaskan, ada dua kecamatan yang rentan dilanda bencana, yaitu Bungayya dan Tinggimoncong. Tahun lalu, bencana hidrometerologi, banjir dan longsor, terjadi di sana.
“Sejak awal Desember 2019, kami telah menyosialisasikan potensi bencana di kedua daerah itu. Kami juga sudah meminta semua wilayah di Kabupaten Gowa membuat posko siaga,” kata Ikhsan, Kamis (2/1/2020).
Banjir besar merendam wilayah Kabupaten Gowa, dan beberapa wilayah lain di Sulawesi Selatan, pertengahan Januari 2019. Saat itu, curah hujan tinggi memantik terjadinya luapan air di sejumlah sungai kecil dan Sungai Jeneberang yang melewati beberapa kabupaten.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan, 45 orang meninggal dan tiga orang hilang di Gowa. Sebanyak 470 rumah rusak dan infrastruktur lain hanyut. Total korban jiwa di Sulsel ketika itu mencapai 79 orang, dan 9.429 jiwa mengungsi.
Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, terdapat 300 juta meter kubik material tanah, pasir, dan batu yang diperkirakan lepas saat dinding kaldera Bawakaraeng runtuh pada 26 Maret 2004. Setidaknya 210 juta meter kubik rontok ke Sungai Jeneberang.
Dari seluruh material yang rontok ke sungai, terdapat 130 juta meter kubik yang berada di sekitar Daerah Aliran Sungai Jeneberang. Sebanyak 80 juta meter kubik mengendap masuk ke Bendungan Bili-bili (Kompas, 4 Maret 2019).
Dengan tingginya potensi bencana, Ikhsan mengatakan, pihaknya telah mendirikan posko siaga bencana di Kantor Bupati Gowa. Di posko induk itu ada petugas dari Dinas PU, Dinas Perhubungan, Damkar, Satpol PP, Hingga Pramuka dan PMI. Peralatan dan alat keselamatan juga mulai ditempatkan di titik-titik rawan.
“Kami juga terus memantau secara realtime kondisi cuaca dan data dari BMKG. Seperti kita tahu, tahun lalu terjadi banjir besar di wilayah kabupaten ini. Karena itu kami bersiap lebih dini,” ucap Ikhsan.
Sejauh ini, ucap Ikhsan, situasi di sejumlah wilayah di Gowa terpantau aman. Hujan masih turun dalam batas wajar. Tinggi muka air di Sungai Jeneberang yang juga masih normal.
Sementara itu, di Kota Makassar, salah satu antisipasi banjir dilakukan dengan membangun tampungan air. Kolam Regulasi Nipa-Nipa di kawasan Antang, Kecamatan Manggala, telah masuk tahap penyelesaian dan mulai dialiri air. Kamis siang, sejumlah pekerja tampak menyelesaikan pekerjaan pintu angkut kolam. Air telah menggenangi kolam seluas 84 hektar ini.
Ramli, bagian humas kontraktor pelaksana menuturkan, kolam ini telah tergenangi air sejak seminggu terakhir. Air dari hujan dan aliran Sungai Tallo, telah masuk ke dalam kolam yang memiliki daya tampung 3,58 juta meter kubik.
"Jika debit Sungai Tallo naik, otomatis air masuk ke kolam. Saat air surut, akan dikeluarkan lewat tiga pintu air dan dua saluran yang memiliki pompa. Kolam kemarin juga sudah diserahterimakan ke BBWS Pompengan-Jeneberang," ucap Ramli.
Berdasar data dari laman BBWS Pompengan-Jeneberang, kolam regulasi ini diharapkan mampu menurunkan dampak tingkat resiko banjir sebesar 30 persen dari luas sekitar 3.000 hektar di daerah Makassar bagian timur.
Adi Maulana, Kepala Pusat Kebencanaan Universitas Hasanuddin menuturkan, upaya penanganan bencana belum begitu terlihat setahun terakhir. Sejumlah program dan kegiatan belum menyentuh akar permasalahan baik di hulu maupun di hilir.
Di kawasan hilir, ucap Adi, area tangkapan air terus berkurang setiap tahun. Hal itu membuat air limpas karena tidak adanya daerah resapan. Sementara, perbaikan drainase, dan normalisasi saluran belum maksimal.
Sementara itu, Adi melanjutkan, upaya penataan kawasan hulu juga belum begitu terlihat. Daerah hulu beralih fungsi menjadi area perkebunan, dan dimiliki individu yang membuat fungsi hulu berubah. Rusaknya kawasan hulu di daerah Gowa, misalnya, mendesak diperbaiki dan dipulihkan. Penanaman pohon dan pengembalian peruntukan kawasan harus segera dilakukan.
“Di satu sisi, bencana hidrometeorologi, khususnya banjir dan longsor harus terus diwaspadai. Tidak hanya di Gowa, tetapi potensi bencana ini juga mengancam sejumlah kabupaten dan kota di Sulsel. Sebab, terjadinya anomali cuaca yang membuat musim hujan lebih pendek tetapi dengan intensitas hujan yang tinggi, membuat curah hujan berlimpah," urai Adi.