Konsep berbagi tumbuh dan kian meluas. Memberi tumpangan cuma-cuma awalnya sekadar untuk menghemat biaya dan energi. Namun, di balik itu, ada pesan untuk hidup dalam harmoni di tengah keberagaman.
Oleh
Erika Kurnia/Al Fajri/I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
ARSIP PRIBADI
Muchammad Nugie berfoto bersama traveler asing yang ia tampung di rumahnya, Senin (23/12/2019). Baginya, menjamu tamu adalah berkah.
Sejak 2012, Muchammad Nugie getol menyambut tamu dari sejumlah negara menginap di rumahnya di Jakarta yang hanya berukuran 5 meter x 7 meter. Turis dari Jerman, Austria, China, hingga Argentina kerap diberinya tumpangan gratis.
Para tamu beruntung itu hanya perlu mengakses aplikasi Couchsurfing lewat jaringan internet. Akan muncul daftar nama tuan rumah, termasuk Nugie, yang siap menampung.
Suatu ketika, ada tamu asal Austria menginap di tempatnya. Sang tamu tiba-tiba mendapat kabar neneknya meninggal. Dia tampak terpukul. ”Demi menenangkan hatinya, aku buatkan salib dari kayu untuk dia berdoa. Salib itu aku pasang di dinding tempat aku biasa shalat. Kami lalu sama-sama berdoa untuk neneknya,” kisah Nugie, Minggu (22/12/2019).
Pengertian untuk berbagi, seiring jalan, banyak ia dapatkan saat bertamu ke negeri orang. Nugie meyakini, saat dirinya membuka tangan bagi banyak orang, berkah datang tak terbendung. ”Semangat spiritualitasnya, kan, begitu. Semakin banyak didatangi tamu, semakin banyak energi positif yang didapat,” ujarnya.
Berkah dari menerima tamu dirasakan Intan Febriani (35). Tiga tahun terakhir, ia menyewakan kamar kosong lewat aplikasi Airbnb. Intan senang rumahnya dapat menjadi ruang perjumpaan dengan warga dunia.
Semakin banyak didatangi tamu, semakin banyak energi positif yang didapat.
Namun, berbagi ruang bersama ”orang asing” menjadi tantangan bagi pribadi yang mengaku berpikiran terbuka ini. Intan mengaku pernah pula berprasangka buruk terhadap tamunya. Suatu ketika bom bunuh diri terjadi di Kampung Melayu, Jakarta, Mei 2017.
Pada saat bersamaan, Intan kedatangan seorang tamu asal Palestina. Tamu itu terlihat mondar-mandir di lantai dua rumahnya. Ia menjadi khawatir bahwa tamunya adalah teroris.
Intan akhirnya memberanikan diri berbincang dengan si tamu. Namun, ia kaget mendapatkan reaksi sang tamu yang heran dengan kejadian bom di Indonesia. Tamunya mengira masyarakat Indonesia merupakan satu bangsa sehingga apa lagi yang dipermasalahkan. Keyakinan si tamu bahwa Indonesia adalah negeri yang damai akhirnya membuat Intan menyesal karena menduga yang tidak-tidak.
Berbagi dapur
Bagi sebagian orang, berbagi juga memenuhi kebutuhan keekonomisan dan efisiensi. Pada rentang 2015-2016, konsultan komunikasi Karlina Octaviany pernah menyewa penginapan melalui aplikasi Airbnb sewaktu melawat ke Inggris dan Irlandia. Harga dan aksesibilitas ke tempat tujuan menjadi pertimbangannya dalam memilih penginapan. Namun, ia lebih memilih tempat menginap yang ada tuan rumahnya.
Di Inggris, misalnya, ia pernah menyewa kamar satu flat dengan pemiliknya. Pemilik flat tak sungkan untuk berbagi dapur dengan Karlina. Waktu itu, Karlina bepergian bersama keluarga. ”Kalau berbagi dapur, aku jadi bisa memasak. Keluargaku suka masakan Nusantara,” katanya.
Dalam batas tertentu, tambah Karlina, pemilik properti di Inggris tak sehangat masyarakat di Indonesia. Mereka hanya berbincang ihwal informasi teknis, seperti tempat wisata bagus dan akses transportasi yang bisa digunakan. ”Obrolan seperlunya saja,” katanya.
Namun, orang Eropa tidak selamanya dingin dan kaku. Ia pernah disambut hangat sewaktu menyewa kamar milik sepasang kekasih di Irlandia. ”Mereka pasangan yang ramai, antusias, dan sangat informatif, misalnya dengan senang hati menunjukkan tempat-tempat makan yang murah di Irlandia,” ucapnya.
Berbagi kursi
Konsep berbagi juga diterapkan dalam jaringan Komunitas Nebeng yang berbagi tumpangan kendaraan. Anggota komunitas ini berbagi tumpangan melalui laman nebeng.com.
Didirikan sejak 2005 oleh Rudyanto Linggar, anggota komunitas ini mencapai 82.523 orang per Desember 2019. Saking ramainya anggota, mereka yang hendak bepergian ke luar kota harus mendaftarkan diri terlebih dulu di laman tersebut untuk menyepakati titik dan waktu pertemuan, serta batasan biaya yang disanggupi.
Dalam beberapa kesempatan, ada pemohon tumpangan yang digratiskan dari biaya. Namun, sebagai gantinya, pemohon bersedia bergantian mengemudi selama bepergian. ”Semua tergantung kesepakatan di antara mereka,” kata Rudyanto.
Ternyata menumpang itu nyaman dan hemat.
Berbagi kursi untuk teman seperjalanan baginya efektif mengurangi kepadatan kendaraan di jalan. Manfaat lainnya, biaya yang keluar lebih hemat.
Selain pada hari kerja, kebutuhan terhadap tumpangan juga marak menjelang mudik Lebaran ataupun Natal dan Tahun Baru.
Anggota Komunitas Nebeng, Yosserin (48), senang memberi tumpangan. Selain mendapatkan teman baru, dia juga dapat berhemat karena biaya perjalanan ditanggung bersama.
Nita Angela (26), karyawan swasta di Jakarta, memanfaatkan jasa tumpangan saat hendak kembali ke Jakarta seusai berlibur ke Yogyakarta saat Lebaran lalu. Saat itu, ia kehabisan tiket kereta api. Tiket pesawat pun mahal. Nita pun mencari tumpangan di komunitas itu. Akhirnya ia menemukan teman seperjalanan yang memberinya tumpangan menuju Jakarta.
”Ternyata menumpang itu nyaman dan hemat,” katanya.