Kendalikan Tambang Ilegal, Mantan Kades Jadi Tersangka
Kepolisian mengungkap kasus penambangan pasir dan batu ilegal di lereng Gunung Merapi, Sleman, DIY. Salah satu tersangka yang dibekuk adalah mantan kepala desa yang menjadi pengendali tambang itu.
Oleh
Haris Firdaus
·4 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petambang mengumpulkan material pasir dan batu di Kali Gendol, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (19/2/2019).
SLEMAN, KOMPAS — Kepolisian mengungkap kasus penambangan pasir dan batu ilegal di lereng Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kasus tersebut, polisi menetapkan tiga tersangka, termasuk seorang mantan kepala desa di Sleman yang diduga menjadi pengendali penambangan itu.
”Kasus penambangan ilegal itu terjadi di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) Komisaris Besar Yoyon Tony Surya Putra dalam konferensi pers, Jumat (27/12/2019), di Markas Polda DIY.
Ia menjelaskan, kepolisian telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut, yakni SWJ (47), RH (60), dan DRD (55). RH merupakan mantan Kepala Desa Hargobinangun yang masa jabatannya habis pada 21 November 2019. RH berperan sebagai pengendali sekaligus pemodal tambang itu.
Para tersangka telah melakukan penambangan tanpa izin khusus.
Tony menambahkan, penambangan ilegal itu terjadi di lahan pribadi yang berlokasi di Jalan Kaliurang Kilometer 21,8. Berdasarkan penyidikan kepolisian, penambangan pasir dan batu itu dilakukan sejak 13 November 2019. Aktivitas penambangan itu dilakukan dengan dua ekskavator. Pasir dan batu hasil penambangan tersebut lalu dijual dengan harga borongan Rp 160 juta.
Padahal, berdasarkan hasil penyidikan kepolisian, kegiatan penambangan tersebut tidak dilengkapi perizinan, baik berupa izin usaha penambangan (IUP), izin penambangan rakyat (IPR), maupun izin usaha penambangan khusus (IUPK). ”Para tersangka telah melakukan penambangan tanpa izin khusus,” ucap Tony.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY Komisaris Besar Yoyon Tony Surya Putra (memegang mikrofon) memberikan keterangan pers mengenai pengungkapan enam kasus penambangan ilegal, Jumat (27/12/2019), di Markas Polda DIY.
Oleh karena itu, pada 5 Desember 2019, polisi menangkap ketiga pelaku. Mereka kemudian ditahan dan dijerat dengan Pasal 158 dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketiganya terancam hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
Selain menangkap tiga pelaku, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, di antaranya dua ekskavator dan dua truk yang dipakai dalam penambangan. Polisi juga menyita uang tunai sebanyak Rp 97 juta.
Kepala Bidang Humas Polda DIY Komisaris Besar Yuliyanto mengatakan, pengungkapan kasus penambangan ilegal di lereng Merapi itu merupakan bagian dari operasi pemberantasan penambangan ilegal yang digelar Polda DIY pada 4-23 Desember 2019. Selain penambangan di lereng Merapi, Polda DIY juga berhasil mengungkap lima kasus tambang ilegal lain dalam operasi tersebut.
”Dalam operasi selama 20 hari itu, total ada enam kasus yang berhasil diungkap. Dari enam kasus itu, kami menetapkan sembilan tersangka. Operasi ini menunjukkan bahwa Polda DIY serius menangani penambangan ilegal,” ujar Yuliyanto.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Barang bukti ekskavator dalam kasus tambang pasir ilegal yang diungkap Polda DIY ditunjukkan pada jumpa pers, Jumat (27/12/2019), di Markas Polda DIY.
Bukan pertama
Aktivitas penambangan pasir dan batu secara ilegal di kawasan lereng Merapi bukan pertama kali terjadi. Pada Maret 2015, misalnya, Polda DIY menangkap seorang pemilik usaha pertambangan di kawasan lereng Merapi. Pengusaha itu melakukan penambangan pasir tanpa izin di kawasan Sungai Krasak, Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Sleman.
Sementara itu, pada Januari 2019, polisi juga membekuk pelaku penambangan pasir dan batu ilegal di lereng Merapi di Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dalam kasus itu, polisi juga menyita dua unit alat berat yang dipakai untuk menambang.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta Halik Sandera mengatakan, penambangan pasir dan batu berpotensi merusak kawasan lereng Merapi. Padahal, kawasan lereng Merapi merupakan daerah tangkapan air yang memiliki peran penting untuk menjaga ketersediaan air tanah di wilayah Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta.
Oleh karena itu, kerusakan lahan di lereng Merapi berpotensi mengganggu ketersediaan air tanah di tiga wilayah tersebut. ”Kalau lereng Merapi rusak, akan mengganggu proses pengisian ulang air tanah, baik air tanah dangkal maupun dalam. Kalau pengisian air tanah terganggu, ketersediaan air tanah di Sleman, Bantul, dan Yogyakarta juga bisa terganggu,” tutur Halik.
Dengan kondisi semacam itu, lanjutnya, di kawasan lereng Merapi seharusnya tidak dilakukan penambangan pasir dan batu, kecuali di kawasan sungai. Penambangan pasir dan batu di kawasan sungai bisa dilakukan dengan syarat hanya untuk melakukan normalisasi sungai. ”Lereng Merapi itu seharusnya menjadi kawasan lindung karena wilayah itu merupakan daerah tangkapan air,” kata Halik.