Sistem inti-plasma diterapkan untuk mendorong pengembangan pertanian kayu putih di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
GUNUNG KIDUL, KOMPAS — Sistem inti plasma diterapkan untuk mendorong pengembangan pertanian kayu putih di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah menyediakan bibit unggul, masyarakat mengolah tanaman, dan jaminan hasilnya diserap langsung oleh industri.
Hal itu disampaikan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro saat menghadiri acara ”Penanaman Benih Unggul Kayu Putih Menuju Swasembada Minyak Kayu Putih”, di Desa Karangduwet, Kecamatan Paliyan, Gunung Kidul, Rabu (18/12/2019).
”Model pengembangan ini dilakukan dengan sistem inti-plasma. Yang akan terlibat langsung dan akan menerima manfaat langsung juga petani kayu putih di daerah ini. Sudah ada pihak yang akan membeli minyak yang dihasilkan petani,” kata Bambang.
Solusinya adalah kita memperbaiki benihnya sehingga kayu putih yang dihasilkan produksinya lebih besar.
Bambang mengungkapkan, produksi tanaman kayu putih masih perlu banyak didorong karena saat ini belum mencukupi kebutuhan industri. Pihak industri memenuhi kekurangan itu dengan mengimpor bahan yang serupa dengan kayu putih. Hal tersebut menunjukkan masih terbukanya peluang pertanian untuk jenis tanaman tersebut.
”Solusinya adalah kita memperbaiki benihnya sehingga kayu putih yang dihasilkan produksinya lebih besar. Yang produktivitasnya masih rendah diubah jadi tinggi sehingga produksinya besar dan bisa memenuhi kebutuhan lokal. Ini akan mengurangi permintaan impor,” kata Bambang.
Menurut data Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, produksi kayu putih nasional hanya mampu memasok 15 persen kebutuhan industri farmasi dan obat-obatan dalam negeri. Sebanyak 85 persen lainnya dipenuhi dengan mengimpor bahan substitusi berupa minyak eukaliptus. Adapun kebutuhan bahan baku minyak kayu putih untuk industri tersebut lebih kurang 3.500 ton per tahun.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Nur Sumedi menyampaikan, guna mengatasi rendahnya produktivitas tanaman itu dilakukan pemuliaan tanaman kayu putih sejak 1995. ”Pertimbangan utama adalah masih rendahnya produktivitas nasional kita,” ujarnya.
Hasil dari pemuliaan tersebut telah mampu menghasilkan bibit unggul. Tanaman kayu putih yang dikembangkan itu sudah dapat menghasilkan bibit dengan rendemen di atas 1,25 persen dan mengandung 1,8 cineole. Terjadi pula peningkatan produktivitas 50 persen ketimbang benih biasa.
”Kebun benih sebagai sumber produksi benih unggul juga sudah dibangun. Kebun itu mampu memproduksi benih unggul untuk kapasitas tanaman mencapai lebih kurang 10 juta batang per tahun,” kata Sumedi.
Dengan kondisi itu, Sumedi menambahkan, bisa dicapai penambahan kebun baru sekitar 2.000 hektar per tahun atau setara dengan peningkatan produktivitas minyak kayu putih sekitar 500 ton per tahun. Ia mengharapkan, dalam waktu lima tahun, penggunaan bibit unggul itu mampu mencapai kapasitas produksi minyak kayu putih 2.000 ton per tahun. Ini sama dengan mengurangi impor minyak substitusi 66 persen.
Pada 2019, model pengembangan inti plasma diinisiasi agar memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Itu dilakukan dengan membuat kelompok tani yang mengelola lahan 5-10 hektar per kelompok. Kelompok tani juga dibekali dengan alat pengolahan tanaman kayu putih agar bisa dibuat menjadi minyak kayu putih yang bisa langsung dijual.
Perusahaan yang sudah digandeng dan menjamin bakal membeli produksi minyak kayu putih dari kelompok tani tersebut adalah PT Eagle Indo Pharma atau PT Caplang. Selain Gunung Kidul, model ini juga dijalankan di sejumlah daerah lain, yaitu Biak Numfor (Papua) dan Bangkalan (Madura).
Anto Rimbawanto, Peneliti Ahli Utama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, menyampaikan, pertanian kayu putih memiliki prospek yang bagus bagi masyarakat. Satu pohon bisa dipanen dalam waktu 24 bulan sejak ditanam. Bahkan, bibit unggul yang telah dihasilkan itu bisa dipanen hanya dalam waktu 18 bulan.
”Setelahnya, pohon bisa dipanen daunnya selama 30 tahun ke depan. Dari situ, pohon kayu putih ini yang akan merawat petaninya dengan hasil tani tersebut,” kata Anto.
Anto menjelaskan, 1 hektar lahan bisa ditanami sekitar 5.000 pohon. Dari pohon sebanyak itu bisa dihasilkan 15 ton daun kayu putih. Setelah diolah, daun itu bisa menjadi 180 kilogram minyak kayu putih yang jika dirupiahkan nilainya mencapai Rp 48 juta.