Ahli hukum pidana Universitas Dipengoro, Pujiyono, menilai, kejahatan korporasi perlu diselesaikan dengan dua sistem yang berdampingan. Peradilan restoratif sebagai sarana utama, lalu jalur peradilan pidana (subsider).
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Ahli hukum pidana Universitas Diponegoro, Semarang, Pujiyono, menilai, kejahatan korporasi perlu diselesaikan dengan dua sistem yang berdampingan. Peradilan restoratif sebagai sarana utama, lalu jalur peradilan pidana yang bersifat subsider.
Hal itu disampaikan Pujiyono pada pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip), Selasa (17/12/2019), di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pidatonya berjudul ”Pembaruan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Melalui Pendekatan Restorative Justice dalam Model Dual Track System Selective”.
Pujiyono mengatakan, kejahatan korporasi merupakan dimensi kejahatan baru, sangat berbahaya, dan menimbulkan korban yang jauh lebih besar dan meluas. Penyelesaian secara restoratif penting karena menyangkut korban terdampak. Namun, pendekatan pidana juga perlu untuk kejeraan.
”Maka itu, yang saya tawarkan ialah dual track system selective. Tidak semua harus masuk ke peradilan restoratif karena bagaimanapun aspek penjeraan itu harus dilakukan. Jadi, harus dilakukan secara selektif,” kata Pujiyono.
Di Indonesia, lanjut Pujiyono, penyelesaian kejahatan korporasi secara restoratif sudah dilakukan pada kasus yang melibatkan korporasi. Di antaranya, kasus Bank Lippo, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Merrill Lynch, hingga kasus PT Lapindo Brantas.
Sementara penyelesaian kejahatan korporasi secara pidana tak banyak dilakukan karena kelemahan formulasi perundang-undangan. ”Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tak mengenal subyek korporasi. Adapun pada undang-undang lain di luar KUHP diatur,” katanya.
Maka itu, yang saya tawarkan ialah dual track system selective. Tidak semua harus masuk ke peradilan restoratif karena bagaimanapun aspek penjeraan itu harus dilakukan. Jadi, harus dilakukan secara selektif.
Ia mencontohkan, undang-undang yang mengatur korporasi di pidana, antara lain, tentang lingkungan hidup, terorisme, pencucian uang, dan korupsi. Namun, peraturannya tak seragam. Karena itu, perlu dual system, yakni peradilan restoratif sebagai sarana utama dan pidana yang bersifat subsider.
Dekan FH Undip Retno Saraswati mengatakan, selain ahli dalam hukum pidana, Pujiyono juga merupakan pegiat antikorupsi. ”Kami berharap FH Undip, termasuk melalui Profesor Pujiyono, makin berkontribusi nyata terkait masalah korupsi,” ujarnya.
Selain itu, Pusat Studi Anti Korupsi yang ada di Undip juga diharapkannya terus berkembang. Dengan demikian, tidak hanya dosen, tetapi mahasiswa FH Undip juga semakin memiliki kesempatan untuk ikut memberikan kontribusi dalam pemberantasan korupsi ataupun ilmu hukum pidana.
Rekrut kandidat
Selain Pujiyono, pada Selasa, dosen Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Undip, Erni Setyowati, dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Sistem dan Teknologi Bangunan. Ia membacakan pidato berjudul ”Peran Akustik pada Bangunan Hijau yang Berkelanjutan”.
Wakil Rektor I Undip Budi Setiyono menuturkan, para guru besar dituntut untuk melakukan penelitian dan publikasi lanjutan. ”Juga memiliki kandidat yang akan direkrut menjadi guru besar. Jadi, one professor one candidate. Ini untuk menyokong universitas,” ujarnya.
Dengan tambahan 32 guru besar pada 2019, Undip saat ini memiliki 138 guru besar aktif. Namun, Rektor Undip Yos Johan Utama mengakui, jumlah tersebut belumlah optimal. Sebab, jumlah itu masih di bawah 10 persen dari total dosen tetap Undip yang berjumlah 1.580 orang.