Kesulitan Bibit Lobster Nelayan Konawe Tak Berujung
Bila sebelumnya pembibitan kurang berkembang di daerah, saat ini nelayan khawatir dengan rencana pemerintah membuka ekspor bibit lobster. Pembudidaya lobster di Konawe, Sulawesi Tenggara, terus terkendala.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Bahar (47), Ketua Kelompok Nelayan Bintang Fajar menunjukkan keramba pengembangan lobster anggotanya di Desa Soropia, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (15/12/2019). Nelayan budidaya lobster di wilayah ini terkendala sulitnya bibit dan kurangnya perhatian pemerintah.
KONAWE, KOMPAS - Bertahun-tahun mandiri membudidayakan lobster, nelayan di Soropia, Konawe, Sulawesi Tenggara, masih kesulitan bibit. Bila sebelumnya pembibitan kurang berkembang di daerah, saat ini nelayan khawatir dengan rencana pemerintah membuka ekspor bibit lobster.
“Kalau nanti jadi membuka keran ekspor benih lobster, pasti nanti bibit makin susah dan bisa jadi semakin mahal. Harga lobster di pasar juga akan semakin murah,” kata Ketua Kelompok Bintang Fajar Bahar (47), Minggu (15/12/2019).
Oleh karena ketiadaan bibit lobster di Konawe, para nelayan Soropia mendatangkan bibit dari luar daerah. Konsekuensinya, harga melambung.
Pemenuhan bibit lobster salah satu masalah utama pengembangan lobster nelayan tradisional. Belum ada program pemenuhan bibit.
Tahun ini, nelayan Soropia membeli bibit lobster Rp 600.000 per kilogram termasuk pengiriman. Isinya rata-rata lima ekor dengan berat 2 ons.
"Tahun ini saya keluarkan modal Rp 36 juta untuk bibit saja," kata Bahar. Tingginya harga bibit dan ketiadaan bantuan pemerintah, nelayan pun mengutang setiap masa panen.
Hal yang kurang lebih sama dialami sebelas nelayan lain di kelompok Bintang Fajar. Mereka bertahan, meskipun harus selalu berutang.
Hisyam (50), nelayan lain mengatakan, ia keluar modal Rp 18 juta untuk 30 kilogram bibit. Bibit ia rawat lebih kurang 10 bulan sebelum dijual.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Lobster budidaya di Desa Soropia, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (15/12/2019).
Akan tetapi, ada risiko mematikan penyakit lobster budidaya. "Sudah bibit mahal, kalau kena virus langsung mati. Kami perlu perhatian pemerintah untuk ini,” kata dia.
Menurut Bahar, nelayan harus mengambil kredit bank untuk membiayai pengadaan bibit setiap tahun. Untuk tahun 2020, Bahar saja telah mengajukan kredit pinjaman Rp 40 juta untuk pembelian bibit di sembilan petak keramba.
Ayah dua anak itu bisa melunasi pinjaman dari penjualan lobster yang cukup baik setiap tahunnya. November lalu, ia bisa untung Rp 50 juta. Tahun ini lebih baik dari sebelumnya.
Minim bantuan
Kepala Desa Soropia Kaharuddin mengatakan, budidaya lobster salah satu andalan perekonomian warga Soropia. Ada dua kelompok memanfaatkan potensi geografis desa.
“Di sini ada teluk yang cocok untuk budidaya lobster. Tapi, program pemerintah baru ada bantuan untuk keramba apung. Benihnya kurang," kata dia.
Enam tahun jadi pembudidaya lobster, Bahar belum pernah dapat bantuan bibit dari pemerintah. Ia beberapa kali mengajukan secara personal, maupun kelembagaan.
Secara provinsi, jumlah produksi lobster hidup di Sultra pada 2018 mencapai 41.375 kg senilai Rp 30 miliar. Angka ini turun dibanding 2017 yang 53.604 kg senilai Rp 40 miliar.
Secara nasional, produksi dan nilai jual lobster terus meningkat. Pada 2018, nilainya mencapai 28 juta dollar AS, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 17 juta dollar AS.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Martin Hadiwinata mengatakan, pemenuhan bibit lobster memang salah satu masalah utama pengembangan lobster nelayan tradisional. Belum ada program pemenuhan bibit. Pemenuhan bibit diserahkan pada nelayan dan pasar itu sendiri.
Akibatnya, nelayan sulit mendapat bibit untuk pengembangan skala kecil. Di satu sisi, kawasan timur Indonesia, adalah tempat berkembangnya lobster berbagai jenis. Di sisi lain, pengiriman benur lobster ilegal ke luar negeri terus terjadi.
"Pemerintah sebelumnya menutup keran ekspor benih losbter, tetapi tak diimbangi program di daerah untuk pemenuhan bibit. Sekarang ada rumor akan dibuka lagi, tapi tak punya data kebutuhan bibit dalam negeri dan pemenuhan komsumsi dalam atau luar negeri,” ujar Martin.
Ia mengusulkan pemerintah mendata lengkap kebutuhan bibit dan benih nelayan. Itu agar nelayan terbantu.