Perajin seni kriya dan tenun di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kini mulai lebih kreatif mendesain karyanya dan tetap mempertahankan ciri khas produk yang menjadi modal bersaing.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Para perajin seni kriya dan tenun di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kini mulai lebih kreatif mendesain karyanya dan tetap mempertahankan ciri khas produk yang menjadi modal bersaing. Keunggulan dari desain produk kerajinan menjadi modal untuk menarik minat konsumen di tengah persaingan pasar industri kreatif dewasa ini, baik di dalam maupun luar negeri.
”Ada semangat perajin untuk tidak menciptakan karya yang monoton. Dulunya material kerajinan cuma perak, sekarang ada inovasi dan kreativitas untuk memadukan dua-tiga material dalam satu karya seni,” ujar Efdalius Roswandi, dari bidang Riset dan Pengembangan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTB, dalam acara penilaian Lomba Kriya Dekranasda Award 2019, Selasa (10/12/2019), di Mataram.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR
Produk aksesori satu set bros dan giwang berbahan mutiara dan kerang mutiara hasil karya perajin sentra kerajinan perak Desa Ungga, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, diikutkan oleh desainernya, Jaelani, dalam acara penilaian Lomba Kriya Dekranasda Award 2019, Selasa (10/12/2019), di Mataram, Lombok.
Dalam kesempatan itu, Ketua Dekranasda NTB Niken Saptorini Zulkieflimansyah mengatakan, kegiatan ini digelar untuk memacu minat perajin terus berinovasi dan giat ikut lomba. ”NTB kaya dengan sumber daya alam. Perajin seni kriya dan tenun rata-rata terampil, bahkan karyanya sudah merambah pasar dalam dan luar negeri. Maka, perlu terus didorong agar semakin kreatif,” katanya.
Ada semangat perajin untuk tidak menciptakan karya yang monoton. Dulunya, material kerajinan cuma perak, sekarang ada inovasi dan kreativitas untuk memadukan dua-tiga material dalam satu karya seni.
Apalagi, NTB tengah berupaya menjadi produsen busana Muslim yang menggunakan produk tenun khas Lombok, Sumbawa, dan Bima. Produk mode itu memerlukan aksesori dari mutiara dan kerang mutiara sebagai daya tarik produk.
Oleh sebab itu, perajin harus menghasilkan karya yang berkualitas, dengan mengasah keterampilan, memiliki inovasi dalam berkarya, dan menjaga ciri khas produk sebagai daya tarik bagi konsumen.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR
Produk dasi untuk pria terbuat dari bahan tenun sisa yang tidak terpakai. Dasi berbahan tenun produk perajin Desa Pringgasela. Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, oleh desainernya dilombakan dalam Lomba Kriya Dekranasda Award 2019, yang diselenggarakan Dekranasda NTB, Selasa (10/12/2019), dan telah masuk dalam tahap penilaian.
Menurut Efdalius, lomba ini diikuti 62 peserta yang terdiri atas pegiat produk seni kriya dari berbagai bahan material, seperti batok kelapa, perak, dan tenun. ”Awalnya perkiraan kami peserta tidak lebih dari 20 orang, realitanya justru hampir tiga kali lipat pesertanya. Mereka adalah perajin di sentra-sentra kerajinan di provinsi ini,” ujar Efdalius.
Ciri khas produk kriya Lombok adalah menggunakan material mutiara dan kerang mutiara yang dipadukan dengan perak dengan beragam produk, seperti cincin, giwang, dan gelang.
Berdasarkan pengamatan, karya para perajin menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dari segi ide, komposisi, dan ritme atau pengulangan terus-menerus dari satu unsur atau beberapa unsur sehingga memiliki keterpaduan antarunsur (harmoni).
Sesuai persyaratan, ada karya seni kriya yang didiskualifikasi karena menggunakan material (kerang) yang dilarang ketentuan dan perundangan yang berlaku. Dilihat dari karya seni kriya para perajin, mereka kini memiliki pengalaman teknis dan mulai memperhatikan ritme. Contohnya ”Tarung Jago” karya Zuiyadaini, yang berbahan perak, mutiara, dan kerang mutiara, terlihat unsur bulu ayam yang mengalami perubahan berulang-ulang pada sayapnya.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR
Sebuah bros yang terbuat dari perpaduan antara mutiara dan kerang mutiara dengan ayam jago. Desainernya asal Desa Ungga, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, memberi nama karyanya ”Adu Jago”. Produk seni ini ikut dalam Lomba Kriya Dekranasda Award 2019, yang diselenggarakan Dekranasda NTB.
Perpaduan
Kemudian bros dan giwang daun kelapa karya Jaelani (41). Ia memadukan material perak dan kerang dalam karyanya itu. Daun kelapa dalam bros itu berupa perak dan sebagian kecil berbahan kerang mutiara yang apabila terkena sinar matahari melahirkan warna ungu.
Jaelani, warga Desa Ungga, satu sentra kerajinan perak di Lombok Tengah, mengatakan, ide membuat karya itu datang saat tengah duduk di depan rumah sembari mengamati daun kelapa. Gagasan itu dituangkan melalui produk giwang dan bros yang selesai dikerjakan selama tiga hari. Untuk membuat produk bros dan giwang itu, ia memerlukan 30 gram perak.
Jaelani yang belajar teknik dasar kerajinan perak di Desa Singapadu, Gianyar, Bali, membeli perak kepada perajin emas seharga Rp 8.200 per gram. Untuk pemasarannya, Jaelani bekerja sama dengan pengusaha di Mataram. Satu set produk bros dan giwang itu dijual seharga Rp 1,4 juta.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR
Produk kerajinan karya perajin Desa Ungga, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Bahan kerajinan merupakan kombinasi kerang mutiara, butiran mutiara, dan logam. Itu menunjukkan adanya kreativitas dan inovasi dengan memanfaatkan bahan lokal.
Dari satu produk seni kriya, Jaelani memiliki keuntungan meski tidak merinci. ”Namanya kita kerja mesti ada upah (untungnya) sedikit,” ujarnya.
Munculnya kreativitas dan inovasi terindikasi pula pada penggunaan produk tenun. Misalnya produk dasi bagi pria dibuat dari bahan tenun produk sentra industri tenun Desa Pringgasela, Lombok Timur. Penggiat produk mode memanfaatkan bahan sisa tenun yang tidak terpakai. ”Jadi, mereka lebih kreatif dan inovatif dalam berkarya, serta membidik segmen pasar,” ujar Efdalius.