Upaya rekonsiliasi akibat bentrokan antarpemuda yang menyebabkan korban jiwa di Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, terus diupayakan. Perwakilan dua keluarga besar dari pihak korban dan pelaku telah dipertemukan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Upaya rekonsiliasi akibat bentrokan antarpemuda yang menyebabkan korban jiwa di Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, terus diupayakan. Perwakilan dua keluarga besar dari pihak korban dan pelaku bentrokan, yang berimbas pada pembakaran puluhan bangunan ini, telah dipertemukan dan mencapai sejumlah kesepakatan. Kondisi pada Kamis (28/11/2019) mulai kondusif.
Kejadian penganiayaan yang menyebabkan satu nyawa hilang terjadi di Dusun Patoa, Desa Wadiabero, Kecamatan Gu, Rabu (27/11/2019) malam. HM (21), warga Desa Mantaneo, Kecamatan Sangiawambulu, meninggal akibat penganiayaan tersebut. Kejadian ini berimbas pada pembakaran puluhan bangunan oleh keluarga korban yang tidak terima dengan kejadian ini. Aparat kepolisian telah menahan satu terduga pelaku, yakni IM (19).
Tadi sore keluarga besar kedua belah pihak telah dipertemukan di aula kecamatan, dan mereka sepakat rekonsiliasi.
Kepala Polsek Gu Ajun Komisaris Suriadin menyampaikan, hingga Kamis malam situasi telah berangsur tenang meski terus dalam pengawasan aparat keamanan. Keluarga besar dari kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban, telah dipertemukan setelah pemakaman korban.
”Tadi Pak Kapolda Sultra dan Bupati Buton Tengah datang melayat di rumah duka. Tadi sore keluarga besar kedua belah pihak telah dipertemukan di aula kecamatan, dan mereka sepakat rekonsiliasi,” kata Suriadin, dihubungi dari Makassar.
Selain itu, tambah Suriadin, dalam pertemuan tersebut, warga juga mengharapkan pemerintah kabupaten dan provinsi merehabilitasi bangunan yang terbakar. Akibat hal itu, warga yang rumahnya terbakar mengungsi di rumah keluarga terdekat. ”Sore tadi ada bantuan logistik kepada warga Dusun Patoa yang kehilangan rumah dan saat ini mengungsi,” ucapnya.
Kejadian penganiayaan terhadap HM pada Rabu malam membuat massa dari tempat korban berasal menyerang desa tempat pelaku berasal. Massa yang tidak menemukan pelaku lalu membakar kediaman pelaku dan merembet ke sejumlah bangunan lain. Berdasarkan data yang dikumpulkan, lebih dari 20 bangunan terbakar, 12 sepeda motor terbakar, dan 61 keluarga mengungsi akibat kejadian ini.
Rosmawati (28), warga Desa Wadiabero, menceritakan, kondisi mulai tenang hingga Kamis malam. Meski demikian, ia belum berani keluar rumah akibat kejadian ini. Rumah terduga pelaku berjarak sekitar 200 meter dari kediamannya. ”Tadi malam juga dengar ribut-ribut, tidak berani mengintip. Kami di dalam rumah saja,” katanya.
Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Harry Goldenhardt menyampaikan, kejadian ini bermula dari pertikaian antarpemuda dari dua desa. Dari kejadian tersebut, HM meninggal terkena tikaman. Sementara itu, satu orang lainnya terluka.
”Motif pertikaiannya karena beberapa waktu sebelumnya pelaku dan korban pernah berselisih ketika ada pesta. Lalu, keduanya kembali bertemu pada Rabu malam, yang berujung pada meninggalnya korban,” kata Harry.
Pihak kepolisian, lanjut Harry, bergerak cepat untuk menyelesaikan kejadian ini. Pelaku berinisial IM (19) ditangkap pada Kamis pagi. Saat ini, IM telah ditahan di Markas Polres Baubau. Pelaku dikenai Pasal 353 Ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 9 tahun penjara. Sejumlah personel TNI dan Polri terus berjaga untuk mengantisipasi agar konflik tidak kembali berulang.
Bentrokan antarkampung yang menyebabkan nyawa hilang dan bangunan terbakar adalah kali kedua dalam enam bulan terakhir di Sulawesi Tenggara. Sebelumnya, pada awal Juni lalu, bentrokan terjadi di Kabupaten Buton, yakni antara warga Desa Gunung Jaya dan Desa Sampuabalo. Dalam kejadian ini, dua orang meninggal, sejumlah warga luka, dan 87 rumah terbakar.
Kejadian ini juga dipicu hal sepele saat konvoi malam takbiran. Sosiolog dari Universitas Haluoleo, Darmin Tuwu, mengatakan, bentrokan antarmasyarakat yang diawali dari kejadian sepele menunjukkan semakin memudarnya ikatan harmonis dalam masyarakat. Sifat toleran dan harmonisasi bermasyarakat juga semakin luntur.
”Tentu pemicunya tidak satu, melainkan ada dendam-dendam yang tersimpan dalam masyarakat dan tidak terselesaikan. Jadi, ketika ada pemicu, akan pecah di kemudian hari. Dendam dan masalah tersebut harus diselesaikan pemerintah dan semua pihak,” kata Darmin.