Optimalkan Potensi Lokal Atasi Pengangguran dan Kemiskinan di Maluku
Pemprov Maluku perlu mengambil langkah strategis untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran di wilayah tersebut. BPS mencatat, angka kemiskinan dan pengangguran di Maluku menempati posisi keempat nasional.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Maluku perlu mengambil langkah strategis untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran di wilayah tersebut. Badan Pusat Statistik mencatat, angka kemiskinan dan pengangguran di Maluku menempati urutan keempat nasional.
Pada Agustus 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran di Maluku sekitar 7,08 persen atau sebanyak 54.575 orang. Adapun angka kemiskinan sebesar 17,69 persen atau 317.690 jiwa.
Kepala Seksi Statistik Kependudukan BPS Maluku Herlin Venny Johanes, di Ambon, Rabu (27/11/2019), mengatakan, jumlah pekerja di Maluku sebanyak 715.811 atau 92,92 persen dari penduduk usia kerja 1.222.001 orang. Dari angka itu, mereka yang bekerja penuh hanya 480.452 orang atau 67,12 persen. Selebihnya, yang setengah menganggur sebanyak 77.721 orang atau 10,86 persen dan pekerja paruh waktu sebanyak 157.638 atau 22,02 persen.
Indikator untuk menghitung mereka yang setengah menganggur dan bekerja paruh waktu itu, kata Herlin, berdasarkan jumlah jam kerja. ”Itu karena jam kerja mereka sedikit. Pekerja tetap menghabiskan jam kerja paling sedikit 35 jam per minggu. Namun, belum bisa dipastikan keterbatasan jam kerja itu dipicu minimnya peluang untuk bekerja,” ucapnya.
Di Maluku, tingkat pengangguran terbesar ada di wilayah perkotaan. Tingkat pengangguran di Kota Ambon mencapai 12,34 persen, disusul Kota Tual sebanyak 9,30 persen, dan Kabupaten Maluku Tengah sebanyak 7,76 persen. Adapun tingkat pengangguran terendah ada di Kabupaten Buru Selatan, yakni 2,38 persen.
”Pengangguran di kota tinggi lantaran orang-orang desa memilih ke kota, kemudian sampai di kota mereka tidak dapat pekerjaan,” ucap Herlin.
Menurut dia, tingginya tingkat pengangguran itu berkorelasi dengan tingkat kemiskinan di Maluku. Hingga Maret 2019, jumlah penduduk miskin di Maluku sebanyak 317.690 jiwa atau 17,69 persen. Angka itu berkurang hanya 0,16 poin dibandingkan dengan data Maret tahun sebelumnya. Adapun September 2014, angka kemiskinan di Maluku 18,44 persen.
Tingkat pengangguran di kota tinggi lantaran orang-orang desa memilih ke kota, kemudian sampai di kota mereka tidak dapat pekerjaan.
Genjot sektor unggulan
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari mengatakan, pengangguran dan kemiskinan di Maluku dapat ditekan dengan menggenjot sektor perikanan sebagai potensi unggulan di Maluku. Sejak pemberlakuan moratorium dan penertiban sektor perikanan nasional mulai 2014, banyak industri perikanan di Maluku tutup.
Akibatnya, banyak warga, seperti nelayan, buruh nelayan, pekerja pabrik perikanan, dan usaha-usaha terkait perikanan, kehilangan pekerjaan. ”Momentum sudah di depan mata. Pusat sudah memulai, daerah harus menyambutnya dengan langkah terukur. Paling sederhana adalah menggenjot pemberdayaan nelayan tradisonal,” kata Ruslan.
Upaya itu dianggap efektif menciptakan lapangan pekerjaan dan menekan kemiskinan. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, saat ini terdapat lebih kurang 150.000 rumah tangga nelayan di Maluku. Dari jumlah tersebut, kurang dari 10 persen mendapat bantuan dari pemerintah.
Potensi sumber daya perikanan di Maluku menjadi kekuatan terbesar untuk membuka lapangan usaha. Terlebih, potensi ikan di Maluku sekitar 3 juta ton per tahun atau 30 persen dari potensi nasional. Setelah pemberlakuan moratorium penangkapan, potensi perikanan setempat diyakini meningkat karena penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem laut jauh berkurang. Pencurian ikan pun berkurang.
Potensi sumber daya perikanan di Maluku menjadi kekuatan terbesar untuk membuka lapangan usaha.
Blok Masela
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Maluku Melky Lohy mengatakan, peluang terbesar mengurangi tingkat pengangguran lewat kehadiran eksploitasi gas alam Blok Masela. Lokasi eksploitasi gas yang diklaim memiliki cadangan terbesar di Indonesia itu berada dekat Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan Kabupaten Maluku Barat Daya.
Menurut rencana, pembangunan konstruksi Blok Masela mulai dikerjakan tahun 2022 dengan produksi pertama diperkirakan pada 2027. Untuk proyek konstruksi, dibutuhkan sekitar 40.000 pekerja. Secara keseluruhan, tenaga kerja yang terlibat sekitar 73.000 orang.
”Kami berharap, tenaga kerja lokal asal Maluku yang memenuhi kualifikasi diutamakan,” lanjutnya.
Diberitakan sebelumnya, kontrak Blok Masela atau dikenal dengan proyek Lapangan Abadi ditandatangani tahun 1998 dan berlaku hingga 2028. Rencana pengembangan atau plan of development diajukan sejak 2001 dan dinegosiasikan beberapa kali hingga disetujui Juli 2019. Investasi itu bernilai 19,8 miliar dollar AS, dengan tingkat pengembalian modal (IRR) 15,1-15,5 persen.