Penggunaan bahasa Jawa dialek Tegalan mulai ditinggalkan, terutama oleh sebagian generasi muda di Tegal, Jawa Tengah. Karena itu, upaya untuk melestarikan warisan budaya luhur tersebut perlu menjadi perhatian.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Penggunaan bahasa Jawa dialek Tegalan mulai ditinggalkan, terutama oleh sebagian generasi muda di Tegal, Jawa Tengah. Karena itu, upaya untuk melestarikan warisan budaya luhur tersebut perlu menjadi perhatian dan didukung semua pihak.
Anis (21), anak muda di Kabupaten Tegal, mengatakan, dalam beberapa kesempatan, dirinya mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan ketika menggunakan dialek Tegalan di luar daerah. Tak jarang, beberapa orang menertawakan logatnya. Sejak saat itu, dirinya memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi.
Sejak saat itu langsung jadi kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia terus meski saya berbicara dengan orang Tegal.
”Karena minder menggunakan bahasa Jawa dialek Tegalan, saya memutuskan untuk membiasakan diri berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Sejak saat itu langsung jadi kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia terus meski saya berbicara dengan orang Tegal,” kata Anis, Selasa (26/11/2019), di Tegal.
Untuk menumbuhkan semangat pelestarian dialek Tegalan, Komunitas Sastrawan Tegalan menyelenggarakan Kongres Sastra Tegalan Kaping Siji, di Auditorium Universitas Pancasakti Tegal, Selasa siang. Dalam kegiatan tersebut, hadir sejumlah sastrawan, budayawan, akademisi, serta pejabat Pemerintah Kota Tegal dan Kabupaten Tegal.
Wakil Bupati Tegal Sabilillah Ardi menuturkan, Kongres Sastra Tegalan bisa mengukuhkan eksistensi dialek Tegalan di kancah nasional. Menurut Ardi, Pemerintah Kabupaten Tegal akan mendukung upaya apa pun untuk melestarikan budaya Tegalan, termasuk dialek Tegalan.
Dari kongres ini, Ardi berharap ada rekomendasi yang dikeluarkan Komunitas Sastrawan Tegalan terkait upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah dan akademisi di Kota Tegal serta Kabupaten Tegal guna melestarikan dialek Tegalan.
Ketua Kongres Sastra Tegalan Dhimas Riyanto menuturkan, kongres tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain meminta Pemerintah Kota/Kabupaten Tegal untuk memberikan perhatian terhadap karya sastra Tegalan. Pemerintah juga direkomendasikan untuk ikut membantu melestarikan karya-karya sastra Tegalan.
”Pelestarian tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan menjadikan sastra Tegalan sebagai muatan lokal mata pelajaran. Dengan begitu, bahasa Jawa dialek Tegalan bisa terus eksis,” ucap Dhimas.
Menurut Dhimas, anak muda Tegal dan sekitarnya harus bangga dan tidak perlu malu menggunakan dialek Tegalan. Sebab, bahasa Jawa dialek Tegalan merupakan warisan leluhur. Menurut dia, dengan terus menggunakan dialek Tegalan, stigma buruk terkait bahasa Jawa dialek Tegalan yang kasar atau sering jadi bahan guyonan akan luntur.
Baju adat
Secara terpisah, Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono berharap Kongres Sastra Tegalan bisa diadakan setiap tahun. Hal itu agar perkembangan sastra Tegalan juga bisa terpantau.
Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap pelestarian budaya Tegal, Dedy berencana mengeluarkan peraturan wali kota terkait kewajiban mengenakan baju adat Tegal setiap hari Kamis. Hal itu berlaku bagi seluruh aparatur sipil negara (ASN) di Kota Tegal dan anggota DPRD Kota Tegal. Peraturan tersebut akan diterapkan mulai 2020.
”Tidak hanya bagi ASN dan anggota DPRD saja. Jika memungkinkan, aturan ini juga akan berlaku bagi pelajar di Kota Tegal,” tutur Dedy.