Mitigasi Bencana Palu Kombinasikan Tanggul Beton dan Mangrove
Pemerintah segera membangun tanggul untuk mitigasi tsunami di Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Pembangunan tanggul akan dibarengi penanaman mangrove.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Pemerintah mulai membangun tanggul beton untuk mitigasi tsunami di Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tanggul sepanjang 7,2 kilometer itu bakal dikombinasikan dengan penanaman mangrove hampir separuhnya.
Seremoni pemecahan kendi oleh Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) John Wempi Wetipo dan Gubernur Sulteng Longki Djanggola di Kelurahan Silae, Palu, Minggu (24/11/2019), menandai dimulainya pembangunan infrastruktur berat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulteng. Selain tanggul, akan dibangun juga jalan nasional dan jembatan.
Tanggul dibangun di pantai Teluk Palu dari Kelurahan Silae ke Kelurahan Talise sepanjang 7,2 kilometer dengan ketinggian sekitar 3 meter. Tanggul dilengkapi jalan layang (elevated road) setinggi 5 meter dengan panjang 4 kilometer. Mangrove akan ditanam di depan tanggul di sejumlah titik yang kedalamannya tak lebih dari 20 meter.
Pembangunan fisik tanggul dilakukan paralel dengan jalan layang. Pembangunan dimulai pertengahan Desember 2019 dan ditargetkan rampung akhir 2020. Anggaran pembangunan fisik untuk mitigasi itu sekitar Rp 200 miliar yang diperoleh pemerintah dari pinjaman.
Gempa yang disusul tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, pada 28 September 2018. Sebanyak 2.800 orang tewas dalam bencana itu.
Pembangunan tanggul, menurut John, untuk mengatasi air pasang yang terjadi saat ini di Kelurahan Silae dan Kelurahan Lere. Untuk jangka panjang, tanggul juga berfungsi sebagai mitigasi dan antisipasi terjadinya tsunami.
”Air laut masuk hingga ke jalan. Ini harus diatur supaya tidak masuk lagi. Tanggul ini dibuat supaya kawasan yang sebelumnya bagus dikembalikan ke kondisi semula. Bahkan, lebih baik dari sebelumnya,” kata John.
Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto menyatakan, kombinasi tanggul dan mangrove dipilih dengan memperhatikan masukan berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan ahli. ”Nanti ada rekayasa untuk menjebak lumpur dari Sungai Palu yang terbawa gelombang. Di luar negeri rekayasa itu berhasil dilakukan,” ujarnya.
Awalnya, penanaman mangrove tidak masuk dalam program mitigasi di Teluk Palu. Hal itu menuai protes dari berbagai pihak, terutama pegiat lingkungan dan kebencanaan setempat. Rujukan utama berfungsinya mangrove dalam menahan gelombang tsunami terlihat di Kelurahan Kabonga Kecil, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Kehancuran di titik yang ditumbuhi mangrove tidak separah dibandingkan dengan yang tak dilindungi mangrove sama sekali.
Hal utama yang perlu dilakukan pemerintah secara terus-menerus pascabencana besar adalah meningkatkan kapasitas warga menghadapi bencana, bukan infrastruktur yang akan hancur saat bencana. (Neni Isnaeni)
Beberapa waktu lalu, Longki mengusulkan agar kombinasi tanggul dan mangrove perlu dipertimbangkan. Pilihan-pilihan itu harus saling melengkapi demi mitigasi dan keindahan kota yang lebih baik.
Pegiat literasi kebencanaan Sulteng, Neni Isnaeni, menyatakan, langkah mengombinasikan tanggul dan mangrove merupakan bentuk jalan tengah. Masalah utamanya tetap, apakah tanggul laut menjawab isu mitigasi. Di banyak tempat, tanggul tak bisa menyelamatkan manusia dari tsunami, seperti saat tsunami di Sendai, Jepang, tahun 2011.
Bagaimanapun, kata dia, hal utama yang perlu dilakukan pemerintah secara terus-menerus pascabencana besar adalah meningkatkan kapasitas warga menghadapi bencana, bukan infrastruktur yang akan hancur saat bencana.
Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Tadulako, Palu, Abudullah, menyatakan setuju dengan pembangunan tanggul pemecah gelombang tsunami. Namun, pemerintah sebaiknya tidak melupakan penataan yang erat kaitannya dengan evakuasi mandiri warga di Teluk Palu, yakni memperbanyak jalan atau jalur evakuasi yang tegak lurus dengan pantai, pemasangan rambu-rambu, dan sosialisasi bencana kepada warga.
Banyaknya korban meninggal saat tsunami terkait dengan minimnya jalur evakuasi. Hal itu menyulitkan warga untuk lari dari kejaran gelombang tsunami yang datang tanpa didahului surutnya laut.