Upah Kecil Hambat Regenerasi Pekerja Kok Kota Tegal
Perkembangan industri shuttlecock atau kok di Kota Tegal, Jawa Tengah, terkendala regenerasi tenaga kerja terampil. Perlunya ketelatenan tinggi dalam proses produksi serta minimnya upah kerja diduga menjadi penyebabnya.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS -- Perkembangan industri shuttlecock atau kok di Kota Tegal, Jawa Tengah, terkendala regenerasi tenaga kerja terampil. Perlu ketelatenan tinggi dalam proses produksi serta minimnya upah kerja diduga menjadi penyebabnya.
Dalam beberapa tahun belakangan, industri kok sebenarnya menunjukkan perkembangan pesat. Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Tegal mencatat rata-rata kapasitas produksi kok di Kota Tegal, 3.414 kok per hari di tahun 2013. Pada tahun 2019, jumlahnya naik menjadi 18.762 kok per hari.
Omzet penjualannya juga meningkat, dari Rp 2,69 miliar per tahun (2013) menjadi Rp 14,39 miliar per tahun (2019). Jumlah pengusahanya pun bertambah. Hanya 35 orang di enam kelurahan pada tahun 2013 kini menjadi 66 orang dan tersebar di 14 kelurahan.
Akan tetapi, semua peningkatan itu belum diimbangi regenerasi tenaga terampil. Pemilik perusahaan produsen kok, Sinar Mutiara, Rudi Hartono Siswanto mempekerjakan 70 orang di perusahaan kok miliknya. Dari 70 orang tersebut, mayoritas perempuan berusia di atas 30 tahun.
"Saya kesulitan merekrut pekerja usia muda. Rata-rata mereka tidak betah karena pekerjaan ini rumit dan membutuhkan ketelatenan," kata Rudi, Minggu (24/11/2019) di Tegal.
Untuk membuat sebuah kok, diperlukan ketelitian agar setiap komponen bisa terpasang dengan presisi. Standar-standar yang ditetapkan juga harus dipatuhi. Jika ada sedikit saja kekeliruan, kemungkinan besar kok yang dibuat tidak bisa dipakai secara maksimal.
Tidak hanya perusahaan, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kok juga kesulitan melakukan regenerasi pekerja. Sumarno (43), produsen kok di Kelurahan Debong Lor, Kecamatan Tegal Selatan mengatakan, dari 12 orang yang ia pekerjakan, hanya satu orang yang berusia di bawah 40 tahun. Sumarno menduga, upah minim jadi penyebabnya.
Untuk setiap satu minggu, Sumarno memberikan upah sekitar Rp 180.000 - Rp 200.000. Artinya, dalam sebulan para pekerja akan menerima upah sekitar Rp 720.000 - Rp 800.000. Angka itu jauh lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kota Tegal tahun 2019, yakni Rp 1.762.000 per bulan.
Pekerja muda yang memutuskan berhenti bekerja dari tempat usaha Sumarno rata-rata memilih untuk beralih pekerjaan menjadi kuli bangunan dan pekerja pabrik. Dua pekerjaan tersebut mampu menghasilkan upah setidaknya sesuai atau lebih besar dari UMK.
Indra (29), mantan pekerja di industri kok memilih untuk keluar dan menjadi pengojek daring. Indra mengaku, pendapatannya sebagai pengojek daring lebih besar dibanding bekerja sebagai pembuat kok.
"Saat masih membuat kok pendapatan saya maksimal Rp 1 juta per bulan. Kalau mengojek daring minimal Rp 1,4 juta per bulan," kata Indra.
Berbeda dengan Yuli (40). Yuli memilih untuk bekerja sebagai pembuat kok untuk menambah pemasukan keluarga. Yuli nyaman dengan pekerjaan ini karena dirinya boleh membawa pulang bahan baku kok dan membuat kok di rumahnya.
Hal itu memungkinkan Yuli untuk tetap bekerja sambil menjaga warung sembako miliknya. Dalam seminggu, Yuli mendapatkan upah hingga Rp 200.000 dari hasil membuat kok.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Tegal R Heru Setyawan mengatakan, para pengusaha seharusnya mempertimbangkan kesejahteraan para pekerja agar regenerasi bisa terus berjalan. Hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya membayar pekerja, minimal sesuai dengan UMK.
Prioritas industri
Berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Industri Daerah (RPID) Kota Tegal tahun 2017-2037, industri kok merupakan salah satu prioritas industri yang akan dikembangkan. Beberapa upaya pengembangan telah ditempuh Pemerintah Kota Tegal seperti, memberikan pelatihan setidaknya sekali dalam setahun bagi pelaku UMKM kok untuk mengembangkan bisnisnya.
Pemerintah juga memfasilitasi dan memberikan sosialisasi terkait penerapan standar mutu serta restrukturasi teknologi mesin produksi. Sehingga, beberapa kok buatan UMKM Kota Tegal sudah berstandar nasional (SNI). Kok asal Tegal juga sudah dijual hingga Semarang, Jakarta, dan Bandung.
Para pengusaha seharusnya mempertimbangkan kesejahteraan para pekerja agar regenerasi bisa terus berjalan.(Heru Setyawan)
Heru menambahkan, pihaknya berencana menjadikan salah satu daerah di Kota Tegal sebagai sentra pembuatan kok, seperti sentra kok di Desa lawatan, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal. Namun, masih ada beberapa kendala antara lain, jumlah minimal pelaku industri dalam satu kawasan, jumlah tenaga kerja yang bekerja di bidang pembuatan kok, serta infrastruktur pendukungnya.
"Dalam satu kawasan setidaknya harus ada 10 pelaku usaha yang bergerak di bidang kok. Sementara ini, pelaku industri kok di Kota Tegal tidak berada dalam satu kawasan melainkan masih menyebar di beberapa kecamatan," tutur Heru.