7.660 Hektar Wilayah Sungai Utik Diusulkan Menjadi Hutan Adat
Wilayah Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, seluas 7.660 hektar diusulkan menjadi hutan adat. Salah satu tujuannya adalah untuk melindungi wilayah itu dari ancaman kepentingan investasi ekstraktif.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Wilayah Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, seluas 7.660 hektar diusulkan menjadi hutan adat. Dengan ditetapkan menjadi hutan adat, masyarakat diharapkan memiliki hak kelola sepenuhnya dan melindungi wilayah itu dari ancaman kepentingan investasi ekstraktif.
Ketua Perkumpulan Serakop Iban Perbatasan (Sipat) Herkulanus Sutomo Manna, Kamis (21/11/2019), menuturkan, wilayah seluas 7.660 hektar yang diusulkan menjadi hutan adat itu akan dibagi dalam tiga fungsi. Sipat merupakan organisasi sipil masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya, dan advokasi.
Kalau masih menjadi kewenangan pemerintah pusat atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, konsesi bisa diberikan kepada perusahaan-perusahaan.
Fungsi pertama disebut Kampung Taroh atau semacam hutan lindung. Di kawasan itu, masyarakat boleh mengambil rotan dan obat-obatan alam. Kemudian, Kampung Galau yang berfungsi seperti hutan cadangan, yakni pada waktu sangat dibutuhkan, warga boleh mengambil satu atau dua pohon di kawasan itu. Ketiga, yakni Kampung Endor Kerja yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat.
Kawasan hutan di Sungai Utik saat ini berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung. ”Kalau masih menjadi kewenangan pemerintah pusat atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), konsesi bisa diberikan kepada perusahaan-perusahaan. Namun, kalau sudah ditetapkan menjadi hutan adat, hak kelola sepenuhnya di masyarakat. Kalau menteri mau memberikan izin, harus izin dahulu kepada masyarakat,” papar Herkulanus menjelaskan.
Sebelum tahun 2016, daerah itu dikuasai sebuah perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Namun, pada 2016, izin perusahaan itu dicabut sehingga konsesinya kosong. Ini membuka peluang perusahaan lain masuk sebagai pengelola konsesi. Karena itu, untuk melindungi daerah tersebut, status hutan adat menjadi solusinya.
Tahapan yang sudah dilakukan untuk pengusulan hutan adat itu adalah proses sosial di masyarakat. Proses sosial itu menjadi bagian penting dan sudah berjalan puluhan tahun. ”Pemetaan partisipatif sudah dilakukan pada 1998. Advokasi-advokasi dan pemberdayaan masyarakat serta pemahaman mengenai hak kelolanya sudah sering dibicarakan dengan masyarakat,” tutur Herkulanus.
Bupati Kapuas Hulu AM Nasir, melalui Surat Keputusan Nomor 561 pada 30 Oktober 2019, juga sudah mengakui Sungai Utik sebagai masyarakat hukum adat dan diakui wilayah adatnya. Pengakuan adanya masyarakat adat dari kabupaten sebagai syarat mengajukan hutan adat ke KLHK. Selain itu, dilampirkan pula peta rencana hutan adat, sejarah kampung, dan proses pengelolaan hutan adat, termasuk struktur kelembagaan adatnya.
Berkas-berkas tersebut sudah diserahkan kepada KLHK pada 18 November. Hadir dalam penyerahan berkas, perwakilan masyarakat Sungai Utik didampingi sejumlah organisasi sipil masyarakat, yakni Sipat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Badan Registrasi Wilayah Adat, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Yayasan Widya Cahaya Nusantara, dan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis.
Organisasi-organisasi itu selama ini berperan dalam pengusulan hutan adat Sungai Utik. Selanjutnya, tinggal menunggu verifikasi dari KLHK.
Bandi (88), Pemimpin Rumah Panjang Sungai Utik, yang biasa disapa Apai Janggut, menuturkan, masyarakat berperan besar dalam menjaga alam. Masyarakatlah yang mengetahui hutan itu karena berada paling dekat dengan lokasi. Wilayah pengelolaan masyarakat menjadi lebih jelas jika sudah ditetapkan menjadi hutan adat.
Masyarakat Sungai Utik tinggal di rumah panjang. Kearifan lokal mereka dalam menjaga alam diapresiasi oleh berbagai pihak. Sebagai contoh, pada 11 Juli 2019, Sungai Utik menerima Kalpataru dari KLHK karena konsistensi masyarakatnya menjaga wilayah dengan adat dan budayanya.
Kemudian, pada September lalu, masyarakat Dayak Iban rumah panjang Sungai Utik juga meraih penghargaan Equator Prize di New York, Amerika Serikat, yang diselenggarakan Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penghargaan itu mereka peroleh karena berhasil menjaga wilayah dari ancaman perambahan dan ekspansi investasi ekstraktif.