Masyarakat Perlu Disiapkan Lebih Adaptif terhadap Tanah Ambles
Seiring berkurangnya daya dukung lingkungan, penurunan muka tanah atau tanah ambles terus terjadi di sejumlah daerah di pesisir utara Jateng, seperti Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kendal, dan Pekalongan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Seiring berkurangnya daya dukung lingkungan, penurunan muka tanah atau tanah ambles terus terjadi di sejumlah daerah di pesisir utara Jateng, seperti Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kendal, dan Pekalongan. Masyarakat perlu tahu akan risiko itu, juga adaptif.
Berdasarkan pemantauan intensif tim Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2017-2018, penurunan muka tanah di Kota Semarang berkisar 2-10 sentimeter (cm) per tahun. Bahkan, di wilayah utara, penurunan lebih dari 10 cm per tahun.
Bagi masyarakat, mereka perlu mengetahui potensi tanah ambles di daerah yang mereka tempati. Kesiapsiagaan ini penting. Jangan sampai menunggu kejadian baru bergerak. Tentu, sulit untuk langsung memindahkan ke tempat lain. Maka. yang diperlukan ialah adaptasi.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar di sela-sela bincang ”Kesiapsiagaan Masyarakat Pantura Jateng Menghadapi Amblesan Tanah”, di Kota Semarang, Rabu (20/11/2019), mengatakan, penurunan muka tanah terjadi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu lama.
”Bagi masyarakat, mereka perlu mengetahui potensi tanah ambles di daerah yang mereka tempati. Kesiapsiagaan ini penting. Jangan sampai menunggu kejadian baru bergerak. Tentu, sulit untuk langsung memindahkan ke tempat lain. Maka, yang diperlukan ialah adaptasi,” tutur Rudy.
Fungsional penyelidik geologi Badan Geologi Kementerian ESDM, Taufiq Wirabuana, menambahkan, terkait mitigasi, persoalan sosial menjadi hal paling sulit. ”Yang penting, masyarakat tahu risikonya. Maka, mereka sadar akan konsekuensinya. Mereka harus adaptif dengan alamnya,” ujarnya.
Taufiq menuturkan, pihaknya memiliki kewenangan dalam menyampaikan hal-hal teknis kepada masyarakat secara detail. Berikutnya, yang menjadi kunci ialah adanya koordinasi yang matang antarseluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan masyarakat.
Tak menyadari
Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng Sudaryanto mengatakan, sebagian warga tak tahu dan menyadari risiko tinggal di daerah rawan tanah ambles. Mereka pun umumnya enggan pindah karena berkaitan dengan mata pencarian, seperti nelayan.
Karena itu, pihaknya dan BPBD kabupaten/kota terus menyosialisasikan potensi bencana yang ada. ”Juga melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak, serta menyiapkan logistik dan peralatan. Maka, apabila terjadi sesuatu, kebutuhan siap, sehingga akan lebih ringan menghadapinya,” kata Sudaryanto.
Gustari (61), warga Kelurahan Genuksari, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, mengatakan, enam tahun lalu, ia mesti meninggikan lantai rumahnya sekitar 1 meter. Selain penurunan muka tanah, rumahnya juga diserang rob atau limpasan air laut. Kini, ia terbantu dengan adanya rumah pompa pada sistem Kali Sringin.
Riyono (55), warga Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, menuturkan, dalam sembilan tahun terakhir, ia sudah tiga kali meninggikan rumah. ”Setiap meninggikan sekitar 1 meter butuh sekitar Rp 10 juta. Kalau tak ada uang, ditinggikan yang utama dulu, seperti ruang tidur,” katanya.
Pemanfaatan ruang
Rudy menuturkan, penyebab penurunan muka tanah di pantura Jawa terbagi atas faktor alamiah (natural) dan faktor manusia (antropogenik). Faktor alamiah antara lain akibat sifat konsolidasi tanah dan pengaruh teknonik, sementara faktor manusia antara lain akibat pengambilan air tanah yang tak terkontrol dan pembebanan dari infrastruktur.
Setiap meninggikan sekitar 1 meter butuh sekitar Rp 10 juta. Kalau tak ada uang, ditinggikan yang utama dulu, seperti ruang tidur.
Karena itu, kata Rudy, adaptasi juga diperlukan terkait pembangunan infrastruktur. Maka, pemerintah daerah perlu memerhatikan betul penataan dan pemanfaatan ruang. Proses perizinan pembangunan, seperti perumahan atau bangunan bertingkat, di daerah-daerah rawan ambles harus diperhatikan.
Sejak 2010, Badan Geologi memantau amblesan tanah di Kota Semarang secara intensif, dengan pengukuran patok tetap serta pengukuran geodetik berkala. Pemantauan juga dilakukan di sejumlah daerah lainnya di pesisir utara Jateng, yakni Demak, Kendal, dan Pekalongan.