Dayak Basap Klaim 112.637 Hektar Tanah Ulayat di Lokasi Calon Ibu Kota
Klaim atas tanah ulayat di sekitar lokasi calon ibu kota negara baru di Kalimantan Timur kembali muncul. Kali ini datang dari suku Dayak Basap.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Klaim atas tanah ulayat di sekitar lokasi calon ibu kota negara baru di Kalimantan Timur kembali muncul, kali ini datang dari suku Dayak Basap. Pemerintah menampung keluhan itu dan akan melakukan survei untuk identifikasi masalah sosial budaya, sosial ekonomi, dan pendataan suku.
Suku Dayak Basap merupakan salah satu turunan dari Dayak Punan, rumpun suku Dayak di Kalimantan. Dalam diskusi ”Pertimbangan Aspek Sosial Budaya dan Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kawasan Ibu Kota Negara”, Kamis (14/11/2019), di Balikpapan, perwakilan Dayak Basap meminta pemerintah untuk mengkaji ulang tanah milik negara yang di atasnya juga diklaim milik Dayak Basap.
Mereka mengklaim memiliki tanah adat 112.637 hektar di perbatasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, yang dinilai Presiden Jokowi paling cocok sebagai lokasi ibu kota baru. Ketika ditemui, Sabtu (16/11/2019), di Balikpapan, kuasa hukum Dayak Basap, Ardianson R Kuhun, berharap pemerintah mengkaji dengan baik tanah di sekitar lokasi calon ibu kota baru.
Ardianson mengklaim bahwa suku Dayak Basap memiliki peta tanah adat yang diakui pemerintah desa dan kecamatan sejak 1977. Tanah itu merentang di Kecamatan Loa Kulu Kutai Kartanegara hingga perbatasan Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Jika ditinjau dari peta Google, jarak Kecamatan Loa Kulu ke Kecamatan Sepaku sekitar 50 kilometer.
”Kami belum pernah menempuh jalur hukum untuk mengupayakan tanah adat itu. Namun, kami berharap pemerintah berlaku adil dengan mengkaji semua aspek di sekitar lokasi calon ibu kota negara, termasuk permasalahan tanah adat suku Dayak Basap,” kata Ardianson.
Saat ini, suku Dayak Basap bermukim di Desa Jonggon, Kecamatan Loa Kulu. Terdapat 274 keluarga tinggal di sana dan memiliki struktur masyarakat adat. Menurut Ardianson, suku Dayak Basap di sana saat ini mengelola sekitar 50.000 hektar lahan. Mereka juga meminta pemerintah untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan yang mereka klaim sebagai lahan adat Dayak Basap dengan lahan yang dikelola perusahaan kayu.
Kami belum pernah menempuh jalur hukum untuk mengupayakan tanah adat itu. Namun, kami berharap pemerintah berlaku adil dengan mengkaji semua aspek di sekitar lokasi calon ibu kota negara, termasuk permasalahan tanah adat suku Dayak Basap.
Klain serupa pernah diutarakan oleh kelompok yang mengatasnamakan ahli waris Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di Kutai Kartanegara. Mereka bahkan menyebarkan surat ke pemerintahan desa di sekitar Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Surat itu melampirkan 13 lembar bukti kepemilikan tanah sejak 1902, beberapa di antaranya berbahasa Belanda dan Arab gundul.
Surat itu menyatakan bahwa seluruh Kecamatan Samboja merupakan tanah milik ahli waris Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Kecamatan Samboja juga daerah yang berbatasan dengan Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kutai Kartanegara Farid Hidayat mengatakan, masyarakat tidak perlu resah jika ada yang mengklaim tanahnya milik pihak tertentu. Ia mengatakan, pihak yang mengklaim perlu juga membuktikan secara hukum jika memang memiliki bukti yang sah.
”Jika ada persoalan klaim semacam itu, silakan datang kepada kami. Nanti bisa diketahui akar permasalahannya,” katanya.
Pasca-pengumuman sebagian Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara menjadi lokasi yang dinilai ideal untuk ibu kota baru oleh Presiden Jokowi pada 25 Agustus 2019, undang-undang pemindahan ibu kota belum selesai dibahas. Terlebih, 575 anggota DPR periode 2019-2024 baru dilantik awal Oktober lalu. Selain itu, titik pasti lokasi ibu kota baru juga belum diumumkan.
Jika ada persoalan klaim semacam itu, silakan datang kepada kami. Nanti bisa diketahui akar permasalahannya.
Meski demikian, pemerintah terus melakukan kajian dan survei di sekitar lokasi calon ibu kota baru. Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Sepaku Adi Kustaman mengatakan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas memberikan surat pemberitahuan akan melakukan peninjauan lapangan untuk identifikasi masalah sosial budaya dan sosial ekonomi pada 17-22 November 2019.
”Survei itu dilakukan untuk tinjauan dan identifikasi sumber penghidupan masyarakat di wilayah calon ibu kota negara baru, termasuk identifikasi suku, wilayah, dan permukiman,” kata Adi.
Survei itu dilakukan di Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, Balikpapan, dan Samarinda. Survei dilakukan dengan diskusi kelompok terarah, tinjauan lapangan, dan wawancara mendalam masyarakat. Survei ini juga menggandeng ahli-ahli di Kalimantan Timur, salah satunya Martinus Nanang, antropolog Universitas Mulawarman. Ia mengatakan, survei itu dilakukan untuk memetakan permasalahan yang ada di sekitar calon lokasi ibu kota negara baru.
”Di dalamnya tidak hanya mengidentifikasi nama-nama suku saja, tetapi juga wawancara mendalam dengan tokoh adat terkait keluhan apa saja yang mereka takutkan,” kata Nanang.
Hasil survei akan diberikan kepada Bappenas sebagai pertimbangan pelaksanaan dan perencanaan pembangunan calon ibu kota negara di Kalimantan Timur. Menurut rancangan awal Bappenas, pembangunan ibu kota negara di Kalimantan Timur akan dilakukan pada 2021-2024 di lahan seluas 6.000 hektar dari total 180.000 hektar.