Pertumbuhan Usaha Melambat, Asosiasi Industri Minta Penangguhan Upah Sektoral
Sejumlah asosiasi usaha yang tergabung dalam Forum Komunikasi Asosiasi Jawa Timur meminta pemerintah mengkaji ulang rencana penetapan upah minimum sektoral, terutama untuk industri padat karya.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO,KOMPAS — Sejumlah asosiasi usaha yang tergabung dalam Forum Komunikasi Asosiasi Jawa Timur meminta pemerintah mengkaji ulang rencana penetapan upah minimum sektoral, terutama untuk industri padat karya. Alasannya, pertumbuhan usaha di dalam negeri ataupun di luar negeri masih melambat karena dampak perang dagang China dengan Amerika Serikat.
Ketua Forum Komunikasi Asosiasi (Forkas) Jatim Nur Cahyudi mengatakan, sedikitnya lima asosiasi berencana mengajukan penangguhan penerapan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) 2020. Dua di antaranya adalah Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim.
”Industri padat karya menyerap banyak tenaga kerja sehingga upah menjadi komponen biaya produksi yang signifikan,” ujar Nur Cahyudi, Rabu (13/11/2019).
Nurcahyudi mengatakan, upah minimum sektoral seharusnya dikhususkan untuk industri yang mengalami pertumbuhan bagus. Upah sektoral jangan dibebankan pada industri yang pertumbuhannya melambat, bahkan sedang krisis seperti industri sepatu.
Sebagai gambaran, sebanyak 28 industri sepatu di Jatim mengajukan penangguhan penerapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2019. Ironisnya, dalam kondisi tidak mampu menerapkan upah minimum tersebut, perusahaan itu justru dibebani membayar upah sektoral menjadi 8 persen.
Industri padat karya menyerap banyak tenaga kerja sehingga upah menjadi komponen biaya produksi yang signifikan.
Industri sepatu di Jatim menghadapi tantangan berat karena gempuran produk sepatu impor terutama dari China. Pada saat bersamaan, produk dari Indonesia kurang berdaya saing di pasar ekspor. Salah satu penyebabnya, produk Indonesia dikenakan bea masuk ke negara tujuan ekspor sehingga kalah dari produk Vietnam yang bea masuknya nol persen.
Selain industri sepatu, industri jasa perhotelan dan restoran juga mengalami kelesuan. Ketua PHRI Jatim Mochammad Sholeh mengatakan, indikasinya tarif hotel bintang di Surabaya dan Jatim merupakan terendah di Indonesia.
”Dengan kondisi seperti itu, PHRI berencana mengajukan penangguhan penerapan upah sektoral untuk mempertahankan kelangsungan usaha dan mencegah rasionalisasi pekerja,” kata Sholeh.
Pengusaha berharap pemerintah mematuhi aturan tentang upah minimum sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Sesuai peraturan tersebut, kenaikan upah mencapai 8,5 persen per tahun. Hal itu sejatinya sudah memberatkan karena tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya di kisaran 5 persen.
PHRI Jatim berencana mengajukan penangguhan penerapan upah sektoral untuk mempertahankan kelangsungan usaha dan mencegah rasionalisasi pekerja.
Artinya, kenaikan upah belum diimbangi dengan kenaikan produktivitas sehingga menjadi beban yang memberatkan dunia usaha. Ditambah lagi dengan kewajiban membayar upah sektoral yang besarnya antara 5 persen hingga 11 persen di atas UMK tahun berjalan.
Terkait penentuan upah itu, buruh atau para pekerja memiliki sikap berbeda. Ketua Serikat Pekerja Indonesia Jatim Ahmad Fauzi mengatakan, pihaknya menghendaki upah ditetapkan bersama. Hal itu untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan pekerja.
Dalam unjuk rasa di Sidoarjo, Selasa (5/11/2019) lalu, ratusan buruh yang tergabung dalam Persatuan Pekerja Buruh Sidoarjo (PPBS) meminta pemerintah daerah menaikkan upah minimum, upah sektoral, dan menolak kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional BPJS.