Musim kemarau berkepanjangan membuat debit air di tiga bendung utama Banyuwangi menyusut. Kendati dalam kondisi kritis, situasi ini sudah sesuai dengan prediksi.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Musim kemarau berkepanjangan membuat debit air di tiga bendung utama Banyuwangi menyusut. Kendati dalam kondisi kritis, situasi ini sudah sesuai dengan prediksi.
Ketiga bendung utama Banyuwangi yang menyusut debit airnya hingga tersisa 10 persen ialah DAM Karangdoro, DAM Stail, dan DAM Tegaldlimo. Kondisi ini sedikit terbantu dengan sudah beroperasinya 60 embung buatan di Banyuwangi.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Guntur Priyambodo ketika ditemui di Banyuwangi, Selasa (12/11/2019). ”Dari delapan tahun terakhir, musim kemarau kali ini memang memiliki curah hujan terkecil. Kondisinya memang kritis, tetapi warga, terutama para petani, tidak perlu khawatir karena kondisi ini sudah kami prediksi,” ujarnya.
Guntur menyampaikan, DAM Karangdoro yang normalnya mampu mengalirkan air 21 meter kubik per detik kini hanya mampu mengaliri 2,1 meter kubik per detik. Sementara DAM Stail yang semula mampu mengalirkan 10 kubik per detik kini hanya mampu mengalirkan 0,8 meter kubik per detik. Adapun DAM Tegaldlimo yang biasa mengalirkan 8 meter kubik per detik kini mengalirkan 0,8 meter kubik per detik.
Dari delapan tahun terakhir, musim kemarau kali ini memang memiliki curah hujan terkecil. Kondisinya memang kritis, tetapi warga, terutama para petani, tidak perlu khawatir karena kondisi ini sudah kami prediksi.
Persediaan air di Banyuwangi saat ini, lanjut Guntur, terbantu dengan embung-embung yang telah dibangun sebelumnya. Dinas PU Pengairan telah mengoperasikan 60 embung berkapasitas 5.000 hingga 20.000 meter kubik.
”Selain itu, kondisi saluran tersier juga dalam kondisi baik sehingga air yang kami bagikan dari dam ke petak-petak sawah lebih cepat dan lebih efisien,” ujarnya.
Guna menghemat persediaan air dan membuat pasokan lebih efektif, Dinas PU Pengairan dan Dinas Pertanian membatasi pembagian air. Penggunaan air dibatasi untuk lahan-lahan persawahan yang ditanami padi. Sementara lahan yang ditanami komoditas lain tidak mendapat air dari irigasi.
Tidak hanya itu, pengairan juga dibatasi. Dinas PU Pengairan menggunakan sistem gilir waktu dalam melakukan pengairan ke sawah-sawah milik warga.
”Kalau menggunakan sistem pembagian air, maka empat saluran dibuka semua dengan kapasitas bukaan tertentu. Kami memilih menggunakan sistem gilir waktu sehingga hanya membuka satu saluran untuk satu aliran dalam jangka waktu tertentu, misalnya seminggu. Jadi, minggu ini di aliran A, minggu depan berganti ke aliran B,” ujarnya.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Banyuwangi Ilham Juanda mengatakan, belum ada laporan terjadinya puso pada lahan persawahan akibat kemarau panjang. Menurut dia, hal itu akibat perhitungan dan perencanaan pengairan yang telah disusun oleh Dinas Pertanian dan Dinas PU Pengairan.
”Sesuai perhitungan, saat ini justru musim panen. Petani justru belum menanam lagi karena masih menunggu hujan. Hingga saat ini belum ada laporan gagal panen atau puso selama musim kemarau,” ujarnya.
Dari data Dinas Pertanian Banyuwangi, luas panen gadu (musim kemarau) 2019 merupakan yang paling sempit dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2017, luas panen gadu mencapai 74.815 ha, tahun 2018 seluas 69.324 ha, sedangkan tahun ini diprediksi hanya 62.985 ha.
Sesuai perhitungan, saat ini justru musim panen. Petani justru belum menanam lagi karena masih menunggu hujan. Hingga saat ini belum ada laporan gagal panen atau puso selama musim kemarau.
Tahun ini, produksi panen gadu diharapkan dapat mencapai 409.402 ton gabah kering giling. Jumlah tersebut lebih rendah daripada tahun lalu yang mencapai 450.606 ton.
”Total luas panen padi di Banyuwangi tahun ini diproyeksi mencapai 120.844 ha. Luasan tersebut terdiri dari luas panen padi musim hujan 67.859 ha dan luas panen padi gadu 62.985 ha,” ujarnya.
Kendati luas panen gadu mengalami penurunan, Ilham memastikan tidak akan terjadi defisit beras di Banyuwangi.