Potensi Bahaya Letusan Merapi Masih dalam Radius 3 Km dari Puncak
Aktivitas vulkanik Gunung Merapi meningkat beberapa waktu terakhir dan berujung munculnya awan panas letusan pada Sabtu (9/11/2019) pagi.
Oleh
Haris Firdaus/Nino Citra Anugrahanto/Regina Rukomorini
·6 menit baca
ARSIP BPPTKG
Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah mengeluarkan awan panas letusan, Sabtu (9/11/2019) pukul 06.21 WIB. Awan panas tersebut membentuk kolom letusan setinggi 1.500 meter di atas puncak. Setelah peristiwa itu, hujan abu dilaporkan terjadi di sebagian wilayah lereng Merapi.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Aktivitas vulkanik Gunung Merapi meningkat beberapa waktu terakhir dan berujung munculnya awan panas letusan pada Sabtu (9/11/2019) pagi. Masyarakat tetap diminta tenang karena ancaman bahaya letusannya masih berada dalam radius 3 kilometer dari puncak.
”Masyarakat diimbau tetap tenang, tapi waspada. Mereka dapat beraktivitas seperti biasa di luar radius 3 km dari puncak Merapi,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida dalam keterangan tertulis, Sabtu, di Yogyakarta.
Pada Sabtu pukul 06.21, Merapi mengeluarkan awan panas letusan berdurasi 160 detik dan amplitudo maksimal 65 milimeter. Awan panas letusan yang dikeluarkan gunung api di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah itu membentuk kolom letusan setinggi 1.500 meter dari puncak.
BPPTKG juga mencatat, awan panas letusan tersebut meluncur sejauh 2 km ke arah hulu Kali Gendol di Kabupaten Sleman, DIY. Setelah terjadinya peristiwa itu, hujan abu vulkanik terjadi dalam radius 15 km dan cenderung mengarah ke arah barat Gunung Merapi.
Hanik menjelaskan, sebelum terjadi awan panas letusan pada Sabtu pagi, BPPTKG telah mencatat peningkatan aktivitas di Merapi selama beberapa kali. Peningkatan itu terjadi setelah munculnya awan panas letusan di Merapi pada 14 Oktober 2019.
Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah mengeluarkan awan panas letusan, Sabtu (9/11/2019) pukul 06.21 WIB. Awan panas tersebut membentuk kolom letusan setinggi 1.500 meter di atas puncak.
Berdasarkan catatan BPPTKG, peningkatan aktivitas vulkanik pertama kali terjadi pada 25 Oktober 2019. Saat itu terjadi peningkatan gempa vulkano-tektonik dalam (VTA). Jumlah VTA di Merapi saat itu mencapai 12 kali dalam sehari. Padahal, sehari sebelumnya, Merapi hanya mengalami 3 kali VTA.
Gempa vulkano-tektonik menandakan adanya batuan yang patah atau retak karena tekanan magma di dalam tubuh gunung api. Oleh karena itu, secara umum, gempa vulkano-tektonik menjadi pertanda adanya pergerakan magma yang naik ke permukaan.
Berdasarkan kedalamannya, gempa vulkano-tektonik dibedakan menjadi dua, yakni gempa vulkano-tektonik dalam (VTA) serta gempa vulkano-tektonik dangkal (VTB). Merujuk pada tulisan Agus Budi Santoso dan kawan-kawan di Journal of Volcanology and Geothermal Research (2013), gempa VTA terjadi pada kedalaman 2,5 km sampai 5 km. Sementara gempa VTB terjadi pada kedalaman kurang dari 1,5 km.
Dalam tulisan berjudul ”Analysis of The Seismic Activity Associated with The 2010 Eruption of Merapi Volcano, Java” itu, Agus Budi dkk juga menyebutkan, di kedalaman 1,5 km sampai 2,5 km di Merapi, terdapat zona atau wilayah yang tidak mengalami gempa.
Peningkatan aktivitas vulkanik pertama kali terjadi pada 25 Oktober 2019. Saat itu terjadi peningkatan gempa vulkano-tektonik dalam.
Hanik menyatakan, peningkatan gempa VTA pada 25 Oktober itu kemudian diikuti peningkatan gempa pada zona dangkal di Merapi, yakni gempa VTB dan fase banyak (multi-phase/MP), pada 26-28 Oktober 2019. Pada 28 Oktober, misalnya, Merapi mengalami 27 kali MP dan 5 kali gempa VTB.
MP merupakan gempa vulkanik yang terjadi di sekitar puncak atau kubah lava gunung api. Secara umum, MP antara lain menjadi penanda adanya ekstrusi atau keluarnya magma ke permukaan bumi. Di Merapi, MP juga dikaitkan dengan pertumbuhan kubah lava.
Hanik memaparkan, setelah adanya peningkatan aktivitas vulkanik pada 25-28 Oktober, BPPTKG menemukan adanya pengangkatan sumbat lava di puncak Merapi. ”Berdasarkan foto drone 30 Oktober 2019 di pusat kubah lava teramati material baru berupa sumbat lava yang terangkat yang diduga terkait dengan peningkatan aktivitas pada 25-28 Oktober 2019,” katanya.
Meski begitu, setelah 28 Oktober, aktivitas kegempaan di Merapi sempat turun. Saat itu, rata-rata jumlah gempa VTA dan VTB di Merapi hanya 1 kali per hari, sementara gempa MP hanya 5 kali per hari.
Akan tetapi, pada Jumat (8/11/2019), aktivitas kegempaannya kembali meningkat. Merapi tercatat mengalami 3 kali gempa VTA, 9 kali gempa VTB, dan 44 kali gempa MP.
Gambar peta kawasan rawan bencana Gunung Merapi yang dipajang di Kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi, Yogyakarta, Selasa (15/10/2019).
Kenaikan aktivitas itulah yang kemudian disusul dengan keluarnya awan panas letusan pada Sabtu pagi. Awan panas letusan pada Sabtu pagi itu merupakan awan panas letusan ketiga di Merapi sejak status gunung api tersebut dinaikkan menjadi Waspada pada 21 Mei 2018.
Awan panas letusan pertama terjadi 22 September 2019 dengan amplitudo 70 mm, durasi 125 detik, dan tinggi kolom 800 meter di atas puncak. Setelah kejadian awan panas tersebut, terjadi hujan abu dengan jarak mencapai 15 km dari Merapi.
Sementara itu, awan panas letusan kedua terjadi pada 14 Oktober 2019 pukul 16.31, dengan durasi 270 detik, amplitudo 75 milimeter, dan kolom letusan setinggi 3.000 meter di atas puncak. Akibat awan panas itu, terjadi hujan abu vulkanik dengan radius hingga 25 km.
Masih waspada
Hanik menyatakan, ancaman bahaya Merapi seperti yang terjadi pada Sabtu pagi bersumber dari dua hal, yakni awan panas letusan dan lontaran material. Namun, lanjutnya, berdasarkan kalkulasi yang dilakukan BPPTKG, jangkauan awan panas dan lontaran material dari Merapi masih berada dalam radius kurang dari 3 km dari puncak.
Kalkulasi itu mempertimbangkan sejumlah hal, termasuk volume kubah lava Merapi yang belum mengalami peningkatan signifikan. ”Volume kubah lava Merapi sebesar 416.000 meter kubik berdasarkan data drone 30 Oktober 2019,” ujar Hanik.
Volume kubah lava Merapi sebesar 416.000 meter kubik berdasarkan data drone 30 Oktober 2019.
Oleh karena itu, status Merapi masih sama dengan sebelumnya, yakni Waspada. Selain itu, zona bahaya yang ditetapkan BPPTKG juga masih sama, radius 3 km dari puncak. Masyarakat dilarang beraktivitas dalam zona bahaya itu. Namun, masyarakat di luar radius 3 km tetap bisa beraktivitas seperti biasa.
Sesudah terjadi awan panas letusan pada Sabtu pagi, aktivitas masyarakat di sekitar lereng Merapi masih berlangsung normal. Walaupun sempat ada hujan abu tipis di beberapa wilayah lereng Merapi, masyarakat tidak mengalami kepanikan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga mengasah sabit untuk memotong jerami sisa panen di Desa Ngrundul, Kebonarum, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2019). Mereka datang dari kawasan Deles di lereng Merapi ke tempat itu agar dapat memperoleh jerami untuk pakan ternak.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Boyolali, Jateng, Bambang Sinungharjo mengatakan, aktivitas warga di lereng Merapi di Boyolali berlangsung seperti biasa. Ia mengakui, sempat ada hujan abu tipis pada Sabtu pagi di wilayah lereng Merapi di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali. Namun, hujan abu yang terjadi itu memiliki intensitas yang tipis sehingga tak mengganggu kegiatan masyarakat.
Bambang menyatakan, sesudah terjadinya hujan abu, petugas BPBD Boyolali berangkat ke lokasi untuk membagikan masker kepada masyarakat. ”Kami hanya membagikan masker, tapi aktivitas masyarakat tetap normal,” ujarnya.
Di wilayah lereng Merapi di Kabupaten Magelang, Jateng, aktivitas warga juga normal meskipun hujan abu sempat terjadi. Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Magelang Didik Wahyu Nugroho mengatakan, dampak hujan abu dirasakan di dua desa di Magelang, yakni Desa Babadan, Kecamatan Dukun, dan Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan.
Sementara itu, di wilayah lereng Merapi di Kabupaten Sleman, DIY, tidak dilaporkan terjadinya hujan abu. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Sleman Makwan menyebutkan, situasi lereng Merapi di Sleman masih aman. Ia meminta masyarakat untuk mengikuti rekomendasi yang sudah disampaikan oleh BPPTKG.
”Jangan sampai termakan kabar bohong. Segala informasi harus dicari dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.