Wabah Kolera Babi Pukul Peternakan Rakyat di Sumut
Marni boru Sitohang (45) tampak bersedih. Dalam sepekan, sebanyak 20 ekor babinya mati terkena kolera babi yang mewabah. Mimpinya membeli baju Natal untuk anak-anaknya pun sirna.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Marni boru Sitohang (45) tampak bersedih memandangi lima ekor ternak babinya yang tersisa di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (7/11/2019). Dalam sepekan, sebanyak 20 ekor babinya mati karena penyakit kolera babi yang mewabah. Mimpinya membeli baju Natal untuk anak-anaknya pun sirna.
“Sudah enam bulan saya memelihara ternak babi ini. Seharusnya sudah bisa saja jual pada Desember ini saat harga daging babi naik. Namun, dalam seminggu 20 ekor ternak babi saya mati,” kata Marni.
Marni merupakan salah seorang dari sekitar 700 keluarga peternak babi skala rakyat di Desa Helvetia. Perekonomian para peternak itu pun ambruk setelah diserang wabah kolera babi (hog cholera) dalam sebulan belakangan ini.
Peternakan babi di Desa Helvetia berada di Dusun VI di sekitar Jalan Karya VII. Meskipun berstatus desa, wilayah mereka berbatasan langsung dengan Kota Medan di Jalan Kapten Sumarsono. Di dusun itu, hampir semua rumah tangga beternak babi.
Kandang babi dari beton tampak berjejer di samping atau di belakang rumah mereka. Para peternak tampak lalu-lalang membawa pakan ternak berupa limbah makanan dalam ember.
Meskipun para peternak merupakan warga Kabupaten Deli Serdang, aktivitas mencari pakan untuk babi mereka lakukan di Kota Medan. Mereka mencari limbah makanan berupa nasi, sayur, dan sisa lauk-pauk dari rumah makan, restoran, hotel, dan perumahan. Para peternak ini biasa membawa becak bermotor berisi beberapa ember.Di Medan, mereka biasa disebut parnab, singkatan dari parnasi babi atau pencari nasi babi. Keberadaan mereka sudah tidak asing lagi bagi warga Medan.
Aktivitas pencarian pakan ternak itu dilakukan sejak pukul 05.00 hingga tengah malam.
Aktivitas pencarian pakan ternak itu dilakukan sejak pukul 05.00 hingga tengah malam. “Saya membayangkan pekerjaan saya selama enam bulan ini mencari limbah makanan dari pagi hingga malam. Semuanya sia-sia begitu ternak saya mati,” kata Marni.
Marni pun sebelumnya berencana membeli baju baru Natal untuk anak-anaknya dari hasil penjualan ternak. Hasilnya juga untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah anaknya selama beberapa bulan ke depan sampai ia menjual ternak babi enam bulan berikutnya. Bagi peternak yang kebanyakan warga kelas menengah bawah itu, babi adalah tabungan.
Jika tidak ada wabah ternak, Marni seharusnya bisa menjual ternaknya Rp 28.000 per kilogram. Dengan jumlah ternak 20 ekor dan timbangan rata-rata 70 kilogram, ia seharusnya bisa mendapat Rp 39,2 juta. Namun, sejak wabah kolera menyebar, harga babi pun anjlok hingga Rp 10.000 per kilogram. Itu pun banyak yang tidak laku.
Lamhot Simanjuntak (40) juga mengalami hal yang sama. Delapan ekor ternaknya mati dalam sepekan terakhir. Kini ternaknya hanya tinggal empat ekor saja. Itu pun sudah mulai terjangkit wabah kolera babi. “Seharusnya hasil penjualannya untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya anak sekolah. Kini, semuanya sudah habis,” ujar Lamhot.
Lamhot mengatakan, mereka juga harus membayar Rp 100.000 per ekor kepada orang yang mau membuang atau mengubur ternaknya. Ia tidak mengubur ternaknya karena jumlahnya yang banyak. Beberapa peternak pun tampak membuang bangkai ternak ke Sungai Bedera yang mengalir di desa itu.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut M Azhar Harahap mengatakan, wabah kolera babi telah memukul usaha peternakan babi di Sumut. Dalam sebulan belakangan, sudah lebih dari 4.600 ekor ternak babi di 11 kabupaten sentra ternak babi di Sumut mati karena terjangkit kolera.
Azhar mengatakan, saat ini populasi ternak babi di Sumut mencapai 1,2 juta ekor, tertinggi kedua di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur. Selain di Deli Serdang, wabah kolera babi menyebar antara lain di Serdang Bedagai, Simalungun, Karo, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara.
Wabah kolera pun kini menyerang peternakan rakyat yang umumnya belum menerapkan program vaksin hog cholera dan tidak ada biosecurity (keamanan biologi). Beberapa peternakan skala besar yang sudah menerapkan program vaksin hog cholera terbukti kebal terhadap serangan wabah yang disebabkan virus demam babi klasik itu.
Azhar mengatakan, ke depan, mereka akan berfokus untuk mengedukasi para peternak agar menerapkan program vaksin. Penyakit kolera babi hingga kini tidak bisa diobati, tetapi bisa dicegah dengan vaksinasi.
Azhar pun meminta peternak mengubur bangkai ternaknya agar tidak mencemari lingkungan masyarakat. Hal itu juga dapat menekan penyebaran virus kepada ternak lainnya.
Ia pun menyesalkan beberapa peternak yang membuang bangkai ternak ke Sungai Bedera di Desa Helvetia. Virus demam babi klasik itu tidak bisa menyebar ke manusia. Namun, proses pembusukannya jelas mencemari lingkungan.
Pantauan Kompas, bau busuk menguar di sepanjang Sungai Bedera di Desa Helvetia. Bangkai babi ada yang terbawa air namun ada pula yang menumpuk di pinggir sungai atau tersangkut sampah. Sejauh ini belum ada langkah pemerintah memfasilitas penguburan bangkai-bangkai babi itu.