NTB Canangkan Diri sebagai Daerah Industri Busana Muslim
Provinsi Nusa Tenggara Barat menyatakan diri sebagai daerah industri busana muslim, yang ditandai dengan pencanangan "NTB Goes to Moslem Fashion Industry"
Oleh
KHAERUL ANWAR
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Provinsi Nusa Tenggara Barat menyatakan diri sebagai daerah industri busana muslim, yang ditandai dengan pencanangan NTB Goes to Moslem Fashion Industry. Pencanangan diramaikan dengan acara peragaan busana yang menampilkan busana berbahan kain tenun hasil rancangan para desainer pemula di pelataran Masjid Hubbul Wathan Islamic Center, Mataram, Lombok, Sabtu (2/11/2019) sore.
Menurut Achris Sarwani, Kepala Perwakilan Bank Indonesia NTB, pencanangan NTB sebagai produsen busana muslim diawali dengan kegelisahan menyusul penetapan NTB, khususnya Pulau Lombok, menjadi destinasi wisata prioritas ”Bali Baru”. Di sisi lain, beragam etnis di NTB, yakni Sasak Lombok, Samawa Sumbawa, etnis Mbojo Dompu, dan Bima, memiliki ragam produk tenun yang masing-masing memiliki kekhasan.
Sementara data Global Islamic Economic Index tahun 2017 menunjukkan belanja busana muslim di Indonesia mencapai 20 miliar dollar AS. ”Untuk itu, dengan potensi jumlah perajin dan bahan baku yang nyaris tidak ada habisnya, kami mengambil bagian dalam pasar busana muslim,” ujar Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTB Niken Saptorini kepada pers. Pencanangan NTB sebagai daerah industri busana muslim dilakukan oleh Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah.
Deputi Kepala Perwakilan Kantor Bank Indonesia NTB Wahyu Ari Wibowo menyebutkan, peragaan busana menjadi puncak dari kegiatan yang digelar BI NTB dalam program Fashion Production Incubator (FPI) dan Fashion Designer Incubator (FDI). Peserta program adalah perajin tenun, busana, penjahit, dan perancang busana binaan BI NTB.
Kami mengambil bagian dalam pasar busana muslim.
Program FPI dilaksanakan selama 10 hari sejak 21 Oktober hingga 31 Oktober yang diikuti 20 peserta. Kegiatan bertujuan untuk melatih dan meningkatkan keahlian perajin busana/penjahit di NTB agar dapat menjadi penjahit yang mandiri serta mengeksplorasi kreativitas dan membuat desain.
Peserta nantinya diharapkan dapat mengembangkan diri sebagai desainer yang siap bersaing di industri mode dalam dan luar negeri.
Peserta yang umumnya lulusan sekolah menengah itu mendapat pelatihan dari desainer mitra BI, yaitu Wignyo Rahadi (Jakarta), Elkana Gunawan (Semarang), dan Linda Hamidy Grander (Mataram). Hasil karya peserta pelatihan sebanyak 10 karya ditampilkan bersama karya Wignyo, Gunawan, dan Linda Hamidy.
Linda Hamidy menampilkan koleksi busana tenun bertajuk ”Life in Black and White” yang menggambarkan kemewahan dalam kesederhanaan hidup. Dengan sentuhan modernisasi—mengambil siluet klasik dan keberanian memadukan motif—karya Linda Hamidy tampak unik dan kuat. Pencampuran berbagai macam motif dan tekstur menjadi ciri khas koleksinya.
Ia mengombinasikan bahan kain tenun Desa Sukarara, Lombok Timur, yang polos, dengan tenun Desa Sukarara, Lombok Tengah, yang bermotif.
Desainer Wignyo Rahadi menghadirkan parade koleksi busana muslim bertema ”Tropical Vibes” dengan menggunakan kain tenun produksi Desa Pringgasela. Koleksi ini terinspirasi dari keindahan warna alami pulau tropis yang dipadukan secara harmonis dengan pewarna alami tenun Pringgasela, seperti coklat muda, coklat tua, hijau, dan lime green yang dituangkan dalam desain long dress, outer, blus, dan celana panjang.
Produkberkualitas
”Luar biasa, hanya dalam waktu dua minggu, teman-teman di Mataram bisa menghasilkan karya yang bagus baik pemilihan dan kombinasi warnanya maupun kualitas jahitan busananya,” ujar Elkana Gunawan, tentang perkembangan kemampuan teknis para peserta FPI. Mereka umumnya hanya bisa menjahit, bahkan tidak bisa membuat kerah baju hem, miskin pengetahuan tentang desain.
”Saya yakin, dengan ilmu yang kami tularkan, ditambah tingginya semangat saat pelatihan, mereka mampu menciptakan produk yang memiliki keunggulan kompetitif, berkualitas, dengan harga yang kompetitif,” ucap Elkana.
Saat ini, kain tenun (sarung) produk perajin dijual seharga Rp 600.000 per lembar. Padahal, dengan sentuhan mode, lalu dibuat busana muslim yang siap pakai, harganya tidak kurang dari Rp 1,5 juta per busana muslim.
Zuhad (40), penjahit warga Dusun Sandik, Lombok Barat, mengatakan banyak ilmu yang didapat dari pelatihan itu, seperti merancang desain, pola, dan skala. Selain itu, pelatihan tersebut juga memperkaya pengetahuannya tentang jahit-menjahit yang selama ini didapatnya secara otodidak.
”Dapat pengetahuan dari para pelatih, saya jadi semakin bersemangat dan tertantang membuat desain dan memperkaya pengetahuan saya,” katanya.
Zuhad mengaku tidak tahu persoalan teknis itu karena keterampilan menjahit diperoleh dari ayahnya. ”Pokoknya, kalau baju itu yang dijahit pantas dikenakan pemesan, ya, itu sudah bagus,” ujarnya.