Di akhir dentang lonceng, denting organ menyambut syahdu. Bunyinya mengiringi kelompok paduan suara bernyanyi lagu Ler Ngamone, lagu daerah Kepulauan Tanimbar. Sepuluh perempuan dan empat pria dalam balutan pakaian adat menari dengan ritme pelan sambil menuntun langkah delapan pastor menuju altar kudus.
Sepuluh perempuan itu mengenakan kain tenun ikat dan kebaya. Rambut mereka dipasang mahkota dan dihiasi bulu burung cenderawasih. Sementara, para pria itu menari sambil memukul tifa. Mereka juga membungkusi tubuh dengan kain tenun serta ikat kepala menggunakan syal. Semuanya berbahan tenun ikat motif Tanimbar. Tanimbar merupakan wilayah kepulauan di bagian tenggara Maluku.
Tak hanya tarian Tanimbar, tarian Kei juga dilakoni untuk mengantar 12 pasangan membawa persembahan menuju altar. Tarian itu diringi nyanyian bahasa Kei oleh tiga orang ibu serta tepukan tifa dua pria dewasa. Seperti Tanimbar, Kei juga sama berada di tenggara Maluku. Nuansa budaya kental terasa dalam perayaan ekaristi di Gereja Katolik Santo Antonius Halong, Kota Ambon, Maluku, pada Minggu (27/10/2019).
Sebagian umat yang hadir dalam perayaan itu juga mengenakan pakaian adat dari daerah asal, seperti dari Suku Kei, Flores, Jawa, Bali, dan Batak. Pada saat pembacaan doa dari umat, empat orang jemaat membawakannya dalam bahasa daerah mereka masing-masing, yakni Tanimbar, Kei, Lio (Flores), dan Batak. Sepanjang perayaan yang berlangsung selama lebih kurang 1,5 jam itu, terasa sedang berada dalam acara pentas budaya Nusantara.
Tupa Tampubolon, ketua panitia kegiatan itu, mengatakan, pentas budaya dalam ritus agama Katolik itu digelar untuk memperingati thabisan XIX tahun bagi lima orang pastor yang hingga kini masih mengabdikan diri bagi umat Katolik di Maluku. Lima pastor dimaksud adalah RD Tio Refwutu, RP Norbertus Ngutra MSC, RD Lagorius Matly, RD Paulus Titirlolobi, dan RD Matheus Bwariat.
Penonjolan budaya itu sengaja diangkat untuk menunjukkan betapa beragamnya umat Katolik di Maluku. Dari sekitar 1,8 juta jiwa penduduk Maluku, populasi umat Katolik tak lebih dari 10 persen. Umat Katolik kebanyakan mendiami Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Kei. Sementara, umat Katolik di Ambon berasal dari berbagai suku di Tanah Air.
Menoleh kembali pada catatan sejarah, pembaptisan pertama kali di Indonesia dilakukan di Mamuya, Pulau Halmahera, yang kini masuk wilayah Provinsi Maluku Utara, pada tahun 1534. Pembaptisan itu dilakukan pedagang Portugis Gonzalo Veloso. Ajaran Katolik masuk ke Maluku setelah Islam. Kota Ambon merupakan basis Katolik saat masih dikuasai Portugis. Setelah Belanda masuk, sebagian besar umat beralih menjadi Kristen Protestan.
Lebih dari itu, lanjut Tupa, pria berdarah Batak itu, gereja ingin turut bersama merayakan keberagaman. Itu terlihat pada tulisan di sejumlah baliho dengan tanda pagar #indonesiabersatu. Indonesia yang berasal dari beragam budaya diajak bersatu mendukung Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma\'ruf Amin yang baru dilantik beberapa waktu lalu. Pemilihan keduanya lewat dinamika yang begitu keras. "Kini, gereja menjadi media untuk menyatukan perpecahan itu," kata Tupa.
Transformasi gereja
Pemerhati budaya Maluku dari Universitas Pattimura Ambon Patris Rahabav berpendapat, di masa lalu, gereja salah mengartikan sejumlah praktik kebudayaan dan ritual oleh masyarakat lokal. Gereja pun menganggap ritual tertentu merupakan bagian dari penyembahan berhala. Pengaruh dari gereja itu membuat budaya terkikis, bahkan ada yang tersingkir. "Ritual itu dianggap sebagai penyembahan terhadap allah lain," ujar Patris.
Padahal, sebelum agama modern dibawa masuk ke Nusantara, masyarakat lokal di berbagai daerah sudah mengenal adanya penguasa semesta alam. Masyarakat mempunyai cara sendiri-sendiri dalam menyembah penguasa alam semesta itu. Bersamaan dengan itu, tumbuh nilai-nilai hidup, kewajiban yang harus dipatuhi, serta larangan. Nilai-nilai itu sebagian besar sama seperti ajaran agama modern.
Seiring waktu, gereja lalu bertransformasi dan memberi ruang untuk tumbuhnya budaya lokal. Budaya lokal dan agama modern itu lalu mengalami proses inkulturasi. Tarian adat dalam proses ritual Katolik seakan memberi pesan bahwa gereja sangat terbuka dengan budaya. Bahkan, perbedaan budaya dapat melebur dengan harmonis di bawah altar gereja yang kudus.
Cornelis Bohm (83), pastor Katolik asal Belanda yang bertugas di Indonesia lebih dari setengah abad, mengatakan, budaya Nusantara mengandung nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal. Karena itu, tak masalah bila melebur dalam ritus keagamaan. Itu seperti tarian adat bernuansa kegembiaraan yang dipentaskan pasa saat umat menyanyikan lagu puji-pujian kepada Tuhan.
Menurut dia, paduan budaya dalam gereja membuat orang lokal akan semakin mencintai gereja. "Namun, ada hal-hal penting dalam gereja yang tetap dijaga kesakralannya," ujar pengajar pada Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik Ambon itu. Budaya hanya memberikan warna dan nuansa, bukan substansi dalam ritus keagamaan.