Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyambut kedatangan 49 pengusaha anggota misi dagang dari Mindanao, Filipina, Senin (28/10/2019) malam, di Manado dengan harapan membuat kesepakatan ekspor-impor antarpengusaha.
Oleh
Kristian Oka Prasetyadi
·2 menit baca
MANADO, KOMPAS— Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyambut kedatangan 49 pengusaha anggota misi dagang dari Mindanao, Filipina, Senin (28/10/2019) malam, di Manado dengan harapan membuat kesepakatan ekspor-impor antarpengusaha. Namun, masalah regulasi dan tarif peti kemas yang tinggi tak kunjung teratasi.
Pertemuan antarpengusaha yang dimulai pada Selasa (29/10) merupakan upaya revitalisasi jalur perdagangan langsung antara Bitung, Sulut dan Davao, Mindanao. Pelayaran kapal kargo di antara dua kota telah dua kali gagal, yakni pada April 2017 dan Juni 2019. Kapal singgah di Bitung, tetapi kembali ke Davao tanpa membawa komoditas dari Sulut.
Nantinya, operator shipping line akan masuk ke Bitung sehingga pengusaha tahu jadwal dan biaya pengiriman. Kalau tidak, muatan kapal tidak akan pernah penuh.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Sulut Ronny Lumempouw pesismistis dengan prospek ekspor ke Mindanao. Sebab, pengusaha tidak mendapat kepastian keberlanjutan jalur dagang Bitung-Davao dari pemerintah. Seharusnya, pemerintah lebih dulu memastikan Pelabuhan Peti Kemas Bitung menjadi pelabuhan simpul internasional untuk Indonesia bagian timur.
”Nantinya, operator shipping line akan masuk ke Bitung sehingga pengusaha tahu jadwal dan biaya pengiriman. Kalau tidak, muatan kapal tidak akan pernah penuh,” katanya.
Tingginya biaya pengiriman peti kemas tidak menarik pengusaha untuk mengekspor. Pada 2017, kapal Super Shuttle 212 berkapasitas 5.000 TEUs mengenakan biaya 500 dollar AS per peti kemas. Juni lalu, operator kapal MV Baltic Summer 250 TEUs mengenakan biaya 1.620 dollar AS per peti kemas. Ini jauh lebih mahal dibandingkan biaya di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar yang hanya 200-300 dollar AS.
Biaya layanan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Bitung yang dioperasikan PT Pelindo IV juga sangat mahal, mencapai Rp 12 juta. ”Ini empat kali biaya di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta,” kata Ronny.
Untuk mengurangi biaya ekspor, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menginstruksikan PT Pelindo IV memberikan potongan biaya pelabuhan 50 persen. Pajak pengisian bahan bakar 10 persen oleh Pertamina juga dihapuskan.
Terkait pajak pengisian BBM, kata Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulut Jenny Karouw, Pemprov Sulut hanya bisa menurunkan hingga 5 persen.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri (BPPK Kemlu) akan mengadakan riset pasar untuk mengetahui komoditas Sulut yang dibutuhkan di Mindanao dan sebaliknya. Empat akademisi Sulut dilibatkan dalam riset itu. ”Kami akan mencari 10 komoditas unggulan Sulut yang dibutuhkan di Filipina,” kata Siswo Pramono, Kepala BPPK Kemlu.