Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat memiliki senjata ampuh untuk melawan malaria.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·4 menit baca
Kristian Todang (43) menembakkan jarum kecil ke ujung salah satu jari tangan Kompas. Tetesan darah yang keluar kemudian ditampungnya dalam alat rapid diagnostic test, alat diagnosis cepat parasit malaria. Sekitar 30 menit kemudian, Kristian menyampaikan bahwa tidak ada parasit malaria yang mengendap dalam darah. ”Malaria negatif,” ujarnya dengan raut wajah meyakinkan.
Begitu sekelumit kerja juru malaria kampung di Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, September lalu. Kala itu, Kompas sengaja memeriksa sampel darah untuk memastikan ada atau tidaknya parasit malaria dalam tubuh. Itu dilakukan setelah lebih satu minggu bertugas di daerah endemis malaria itu. Kompas pernah diserang malaria saat meliput bencana gizi buruk di Asmat, Papua, pada Januari 2018.
Kristian merupakan satu dari sekitar 70 juru malaria kampung yang membantu program pemberantasan malaria di daerah itu. Hampir semua juru malaria merupakan ibu rumah tangga yang tidak memiliki kualifikasi bidang kesehatan. Mereka dilatih menganalisis darah dan memberikan obat kepada pasien yang positif malaria.
Obat yang diberikan sesuai berat badan dengan tujuan agar kerja obat lebih optimal dan efektif.
Mereka dibekali sebuah kotak berisi peralatan untuk mendeteksi malaria secara cepat (rapid diagnostic test), obat-obatan, dan timbangan badan. Kotak yang bobotnya tidak lebih dari 5 kilogram itu dengan mudah di bawa ke mana-mana. Jika dinyatakan positif malaria, seorang pasien akan diberi obat berdasarkan jenis parasit malarianya, yakni plasmodiun falciparum (PF), plasmodium non-falciparum (PAN), dan plasmodium mix (PAN dan PF).
Pemberian obat malaria berdasarkan bobot tubuh. Obat dalam dosis tertentu itu dimasukkan dalam kemasan yang terdiri atas tujuh warna. Sebagai contoh, warna merah untuk usia 10 tahun sampai 20 tahun atau warna hijau untuk 40 tahun sampai 60 tahun. ”Obat yang diberikan sesuai berat badan dengan tujuan agar kerja obat lebih optimal dan efektif,” Kristian.
Program melibatkan juru malaria kampung itu diberi nama Early Diagnosis and Treatment (EDAT) yang dijalankan sejak tahun 2010. Diagnosis dan penanganan secara dini dengan melibatkan warga lokal itu dianggap metode yang paling efektif dan efisien. Hal itu untuk menjawab minimnya keberadaan tenaga medis di kampung-kampung terpencil. Selama ini, banyak tenaga medis meninggalkan tempat tugas di pedalaman.
Pemilihan juru malaria berdasarkan masukan dari kepala kampung. Pada awalnya, banyak warga tidak yakin dengan kemampuan juru malaria yang kebanyakan hanya tamatan sekolah dasar itu. Seiring waktu, penanganan yang tepat dan dirasakan hasilnya membuat warga percaya.
”Setiap juru malaria kampung kami beri honor Rp 250.000 per bulan,” kata Muhammad Almahdi, teknisi senior malaria pada Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Bintuni.
Menurut dia, program tersebut merupakan hasil kerja sama dinas kesehatan dengan perusahaan minyak dan gas BP-LNG Tangguh dan Yayasan Tifa Mandiri. Awalnya, program itu dijalankan oleh LNG Tangguh secara terbatas di areal perusahaan gas yang berada di wilayah Kabupaten Teluk Bintuni itu. Lantaran dianggap berhasil, metode itu lalu diadopsi oleh pemerintah daerah untuk dijalankan bersama dengan jangkauan lebih luas.
Desy Unidjaja, Vice President of Communications and External Affairs BP Indonesia, dalam keterangan yang dikirim lewat surat elektronik, mengatakan, pemberantasan malaria merupakan program sosial kemasyarakatan dalam bidang kesehatan. Program itu sukses dilaksanakan berkat kolaborasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat.
”Kegiatan ini juga sejalan dengan komitmen kami untuk merekrut tenaga kerja lokal dan kesehatan adalah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat bekerja dengan kami,” tulisnya.
Penghargaan PBB
Kolaborasi tersebut membawa perubahan besar dalam upaya pemberantasan malaria di Kabupaten Teluk Bintuni. Jika pada tahun 2009 terdapat 114,9 kasus malaria per 1.000 penduduk daerah itu, tahun 2018 jumlahnya berkurang drastis menjadi hanya 0,9 kasus per 1.000 penduduk atau nyaris tidak ada.
”Per Juni 2019 sudah turun lagi menjadi 0,3 per 1.000 penduduk. Ini paling rendah di Papua dan Papua Barat,” kata Franky Dominggus Mobilala, penanggung jawab program pemberantasan malaria di Kabupaten Teluk Bintuni.
Franky meyakini, tak lama lagi wilayah tersebut akan bebas dari malaria. Malaria sering kali membuat banyak orang meregang nyawa jika lambat ditangani. Tanah Papua terkenal sebagai sarang malaria ganas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pada tahun 2015, sebanyak 438.000 orang di dunia meninggal akibat malaria (Kompas, 22/3/2018).
Menurut data Kementerian Kesehatan, hingga tahun 2017, penduduk Indonesia yang berisiko terserang malaria masih sangat tinggi. Di wilayah endemis rendah terdapat 62,8 juta jiwa, endemis menengah sebanyak 5,4 juta jiwa, dan endemis tinggi sebanyak 4,2 juta jiwa. Sebagian besar wilayah di Papua dan Papua Barat masuk kategori endemis tinggi. Pemerintah pusat menargetkan Indonesia bebas malaria pada tahun 2030.
Inovasi penanganan malaria itu pun mendapat perhatian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Departemen ekonomi dan sosial PBB yang menggelar lomba inovasi pelayanan publik memilih EDAT sebagai inovasi terbaik di dunia pada tahun 2018. Franky hadir menerima penghargaan itu di Maroko, Afrika.
Betapa kerja sama sejumlah pihak itu berhasil menaklukkan malaria di kandangnya sendiri.