NTB Punya Potensi Besar Mengembangkan Ekonomi dan Keuangan Syariah
Nusa Tenggara Barat memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah. Meski demikian, perlu komitmen bersama untuk mendukung hal itu.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Nusa Tenggara Barat memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah. Salah satunya perbankan syariah. Hanya saja, perlu komitmen bersama yang kuat untuk mendorong hal itu, termasuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat, serta sektor-sektor yang menjadi penopang.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah NTB Achris Sarwani di Mataram, Kamis (24/10/2019) mengatakan, perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di NTB saat ini tergolong baik. Khusus dari sisi kinerja perbankan syariah, tercatat per September 2019, porsi asetnya mencapai 27 persen.
“Angka itu lebih tinggi dibandingkan porsi aset perbankan syariah secara nasional yang berkisar enam persen. Hal itu memperlihatkan tingginya komitmen semua kalangan dalam mendorong pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di NTB,” kata Achris.
Dalam diskusi bertajuk “Tren Perbankan Syariah di Indonesia 2019” di Batulayar, Lombok Barat, yang diselenggarakan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat bekerjasama dengan Bank BNI Syariah, beberapa waktu lalu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTB Saiful Muslim mengatakan, NTB memiliki modal yang sangat besar untuk mengembangkan perbankan syariah.
Salah satunya bisa dilihat dari mayoritas penduduknya yang muslim. “Sekitar 96 penduduk NTB muslim. Itu potensi yang sangat luar biasa,” kata Saiful.
Oleh karena itu, dorongan agar perbankan syariah di NTB semakin tumbuh dengan baik sangat diperlukan. Menurut Saiful, hal penting yang harus dilakukan adalah literasi atau pemahaman masyarakat tentang bank syariah.
“Walaupun bank syariah ada baik negeri maupun swasta, tetapi tidak semua masyarakat paham. Bahkan, walaupun sudah mengerti, masih ada yang punya anggapan bank syariah tidak menggunakan bunga tetapi hitungannya juga sama (dengan konvensional). Sehingga mereka merasa tidak perlu pindah jika hasilnya sama,” kata Saiful.
Direktur Kepatuhan dan Risiko BNI Syariah Tribuana Tunggadewi yang turut hadir dalam diskusi mengatakan, tingkat literasi keuangangan atau pemahaman mengelola keuangan untuk bank syariah hingga saat ini masih 8 persen. Sedangkan untuk inklusi keuangan perbankan syariah, baru 11 persen. Jumlah itu masih jauh dibandingkan perbankan konvensional yang tingkat literasinya sudah mencapai 30 persen dengan tingkat inklusi 68 persen.
“Oleh karena itu, kita perlu memberikan pemahanan tentang bagaimana menghitung hasil, marjin, dan lainnya melalui literasi (perbankan syariah,” kata Tribuana.
Saiful mengatakan, jika berbicara NTB, cara yang bisa dilakukan adalah melihat bagaimana pengaruh tokoh agama seperti Tuan Guru (ulama) bagi komunitas masyarakat.
“Hubungan komunikasi antara masyarakat dengan tuan gurunya begitu kental. Misalnya, kalau mau menyetor ongkos naik haji, harus didampingi tuan guru. Kalau tuan guru bilang jangan menyetor hari itu, masyarakat akan menurutinya,” kata Saiful.
Menurut Saiful, hal itu harus dimanfaatkan dalam menumbuhkan literasi keuangan perbankan syariah. “Kalau perbankan jalan sendiri, akan sulit. Saya kira, cara itu (melibatkan tuan guru), akan mempercepat proses pemahaman masyarakat,” kata Saiful.
Kebijakan pemerintah terkait perbankan syariah juga penting. Menurut Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan NTB Bagian Pengawasan Bank Armanda Lambardo, untuk mendorong perbankan syariah bisa tumbuh di beberapa tahun ke depan, salah satu kebijakan yang didorong adalah bank-bank konvensional memiliki unit usaha syariah (UUS). UUS adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah yang mereka miliki.
Hubungan komunikasi antara masyarakat dengan tuan gurunya begitu kental. Misalnya, kalau mau menyetor ongkos naik haji, harus didampingi tuan guru. Kalau tuan guru bilang jangan menyetor hari itu, masyarakat akan menurutinya, kata Saiful.
Selain itu, pemerintah juga mendorong sinergi dan kolaborasi lintas sektoral melalui Komite Nasional Keuangan Syariah. KNKS saat ini menjadikan persoalan literasi itu sebagai fokus utama untuk diselesaikan.
Industri halal
Di sisi lain, sektor rill sebagai penopang perbankan syariah juga perlu didorong. Di NTB, kata Achris yang hadir dalam diskusi tersebut, selain branding syariah yang akan kuat, juga memiliki sektor lain seperti pertanian.
“Pertanian yang dimaksud adalah pertanian yang harus sampai ke industri pengolahan. Itu (industri pengolaha) tentu akan menjadi mesin utama bersama industri pariwisata,” kata Achris.
Tribuana menambahkan, selain sektor rill, membangun ekosistem industri halal juga bisa dilakukan. “Tetapi di sana, ada peran serta berbagai pihak mulai dari masyarakat, akademisi, regulator, media, dan industrinya sendiri,” kata Tribuana.
Saat ini, Bank Indonesia bersama pemerintah daerah juga sedang mendorong pengembangan industri fashion muslim di NTB.
“Kami menggunakan bahan dasar kain tenun lokal. Harapannya, sektor usaha dengan beragam motif tersebut, dapat dikenal pihak luar sebagai tujuan destinasi belanja busana muslim. Dengan demikian, selain mendorong perkembangan pariwisata, juga pengrajin tenun lokal,” kata Achris.
Selain itu, komitmen untuk mendukung pengembangan ekonomi dan keunangan syariah juga lewat berbagai forum pertemuan. Selain diskusi yang diinisiasi oleh bank syariah, juga digelar kegiatan lain oleh institusi pendidikan.
Pada Rabu (23/10/2019) kemarin misalnya, Universitas Islam Negeri Mataram bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengadakan 1st International Conference on Finance, Business, and Banking. Dalam konferensi tersebut, dilantik juga pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Provinsi NTB.