Hujan turun rintik-rintik ketika Kapal Feri MV Oceanna IX bersiap angkat jangkar dari Pelabuhan Telaga Punggur, Batam, Kepulauan Riau. Kapal berkapasitas 80 orang tujuan Singkep, Lingga, itu hanya terisi separuh.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Hujan turun rintik-rintik ketika Kapal Feri MV Oceanna IX bersiap angkat jangkar dari Pelabuhan Telaga Punggur, Batam, Kepulauan Riau. Kapal berkapasitas 80 orang tujuan Singkep, Lingga, itu hanya terisi separuh. Sebagian besar penumpangnya adalah lansia.
Perjalanan dari Batam ke Lingga makan waktu sekitar 5 jam. Satu jam pertama laut tenang. Deru mesin kapal memenuhi kabin. Penumpang asyik di kursi masing-masing. Sebagian berbaring di kursi-kursi kosong.
Di kabin depan, Mahmudi (44) yang mengantuk berulang kali berusaha menegakkan kepalanya agar tak terbentur dinding. Ia sedang tugas giliran menjaga kantin kecil di kapal. Sepi. Tak ada pembeli datang.
Mahmudi meninggalkan kampungnya 18 tahun lalu. Sampai di Jakarta, seorang kenalan memberi dia pekerjaan sebagai anak buah kapal kargo. Ia betah dengan pekerjaan itu, karena bebas bepergian dan dibayar dengan layak.
Suatu saat, kapal kargo tempat Mahmudi bekerja berlabuh di Batam. Setelah selesai bongkar barang, sambil menunggu muatan terisi kembali, ia jalan-jalan ke kota untuk merasakan kembali suasana daratan.
“Pas kuwi (itu) Batam masih makmur. Banyak lowongan kerja di pabrik,” ujarnya.
Akhirnya, dengan setengah nekat, ia memilih untuk menetap di pulau yang sama sekali baru baginya itu. Sesuai yang dibayangkan sejak awal, ia mencoba kerja di pabrik. Namun, itu hanya bertahan sebentar saja.
“Enggak cocok. Di pabrik bikin stres,” ucapnya.
Tak lama kemudian ia kembali lagi bekerja di kapal. Pada 2014, ia bergabung perusahaan feri penyeberangan Batam-Tanjung Pinang. Hal itu bertahan sampai hari ini.
“Tahun itu juga aku nikah ,” ujarnya.
Titik balik kehidupan itu masih jelas dalam ingatan Mahmudi. Bulan Agustus 2014, ia memperistri seorang perempuan Melayu. Saat itu, ia mantap untuk menetap selamanya di Batam bersama istri dan kedua anaknya.
Dihantam ombak
Sedang asyik bercerita, tiba-tiba, “grekkkk,” lambung kanan kapal berderak dihantam ombak.
Cerita Mahmudi terputus. Ia jatuh terduduk. Ombak tinggi membuat badan kapal aluminium itu miring ke kiri. Suasana riuh. Barang berjatuhan. Para penumpang terbangun kaget. Anak kecil menangis ketakutan.
“Lumayan juga ya,” kata Mahmudi tertawa.
Musim barat sudah lewat pada Agustus, seharusnya sudah tidak ada ombak besar. Namun, kata Mahmudi, laut seperti anak kecil. Tingkahnya susah ditebak. Ombak tinggi dan angin kencang bisa datang kapan saja.
Laut seperti anak kecil. Tingkahnya susah ditebak
Jika laut sedang ganas, menurut Mahmudi, kapal dari Batam ke Lingga akan mengambil rute memutar melewati pulau-pulau kecil. Ombak di selat yang sempit dan dangkal, biasanya tidak seganas di laut lepas.
Saat itu, hujan yang semakin deras datang disertai kabut pekat. Jarak pandang terbatas. Laut terlihat gelap dan menyeramkan. Keadaan itu membuat para penumpang sulit melanjutkan tidurnya yang damai.
Penumpang ramai-ramai menengok keadaan laut lewat jendela yang buram karena hujan. Desah kebingungan timbul tenggelam oleh suara derak ombak mengahantam badan kapal.
“Ayo di luar saja, di dalam nanti pusing,” kata seorang penumpang laki-laki sambil beranjak dari kursi.
Laki-laki berkaos oranye dipadu jeans yang sudah pudar warnanya itu menghampiri Mahmudi. Ia memasan segelas kopi dan mengambil sebungkus keripik singkong.
Dengan sigap Mahmudi turun ke dek bawah melalui tangga yang melingkar. Ia menjerang air lalu menyeduh kopi untuk pembeli pertamanya hari itu.
Makanan di kedai kapal itu jenisnya tidak banyak. Hanya ada kopi, mie instan, dan beberapa jenis keripik. Satu gelas kopi Rp 5.000. Harga camilan juga sama. Sedangkang mie instan harganya Rp 10.000.
“Rezekiku datang,” katanya girang.
Betul saja, sebentar kemudian penumpang lain ikut berdatangan. Ada yang memesan enam gelas kopi untuk anggota keluarganya yang kebetulan ikut dalam perjalanan itu.
Cuaca buruk justru menghidupkan suasana di dalam kapal. Perjalanan ke Lingga masih 2,5 jam lagi. Penumpang yang kesulitan kembali tidur saling ngobrol untuk membunuh bosan dan mengusir takut.
Cuaca buruk justru menghidupkan suasana di dalam kapal.
Mahmudi yang tadinya mengantuk jadi mendadak sibuk naik turun tangga melayani pesanan. Melihat itu, seorang anak buah kapal (ABK) lain kemudian membantu untuk mencatat pesanan dan memberi kembalian kepada pembeli.
“Ini sebenarnya memang usaha bareng-bareng,” ujar Mahmudi.
Kedai kecil itu membantu Mahmudi dan ABK lainnya untuk mengisi waktu sambil mencari penghasilan tambahan. Harga jual jajanannya sengaja dibikin sama dengan di darat agar para penumpang tidak protes.
Setelah dua jam, perlahan-lahan hujan mulai reda dan kabut menghilang lalu laut kembali tenang. Para penumpang ramai-ramai menuju dek belakang untuk melihat pemandangan sore yang menakjubkan.
Di selat sempit itu sebuah gunung yang puncaknya bercabang tiga berdiri kokoh ditutupi kabut tipis. Sedangkan, di depannya, laut biru memantulkan sinar matahari sore keemasan yang menembus sisa-sisa mendung. Para penumpang riang menyambut suasana hangat ditemani tiupan angin sore yang tenang.
“Itu Gunung Daik di Pulau Lingga, berarti sekitar setengah jam lagi kita sampai,” kata Mahmudi menunjuk gunung yang puncaknya tertutup kabut.
Dari cerita yang ia dengar, entah benar atau tidak, dulu sekali konon Gunung Daik pernah meletus. Karena dahsyatnya letusan tersebut, sebagian puncak gunung terpental ke laut dan membentuk satu pulau baru.
Ketika kapal sandar di Pelabuhan Jagoh, Pulau Singkep, Mahmudi naik ke atap kapal untuk menurunkan barang bawaan penumpang yang terbungkus dalam karung-karung besar. Isinya adalah macam-macam barang seperti pakaian, makanan pokok, dan mainan anak-anak yang dibeli tengkulak dari Batam.
Sebagian penumpang tujuan Pulau Lingga masih harus menyambung perjalanan sekali lagi menggunakan kapal feri serupa selama 45 menit menuju Pelabuhan Tanjung Buton. Di provinsi Kepulauan Riau, kapal laut menjadi tulang punggung untuk menghubungkan pulau-pulau yang jumlahnya lebih dari 2.400 buah.
“Jangan kapok naik kapal, pokoknya kalau ada ombak besar kita ngopi aja supaya enggak mabuk,” teriak Mahmudi dengan cekikikan dari atap kapal.