Sejumlah pelaku usaha keramik dan gerabah di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, kesulitan mencari perajin. Akibatnya, mereka tak mampu memenuhi permintaan pasar yang tinggi.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS - Sejumlah pelaku usaha keramik dan gerabah di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, kesulitan mencari perajin. Akibatnya, mereka tak mampu memenuhi permintaan pasar yang tinggi.
Yati (52), pemilik usaha keramik di Desa Ajun, Kecamatan Plered, Senin (21/10/2019), mengaku kewalahan melayani pesanan dari berbagai daerah. Siang tadi, ia mendapatkan telepon dari pelanggannya di Solo, yaitu 8.000 buah pot bunga anggrek. Ia pun menyanggupinya dengan tenggat waktu penyelesaian dua minggu. Artinya, dalam sehari, produksi harus selesai 570 buah pot.
“Banyak pesanan, tapi tidak ada yang mengerjakan. Berat sekali mencari tenaga terampil yang tekun, sabar, ulet, dan telaten,” kata Yati.
Saat ini, Yati dibantu 20 pekerja, terdiri dari 9 perajin, 3 tenaga pencetak, 5 tenaga finishing, dan 3 tenaga harian. Pada tahun 2010, ia memiliki total 40 pekerja, 50 persen di antaranya adalah perajin.
Menurut Yati, kurangnya tenaga terampil disebabkan anak muda di desa itu lebih memilih untuk bekerja sebagai kuli bangunan dan buruh pabrik. Para pekerja di tempatnya mendapatkan upah Rp 500.000-Rp 700.000 per minggu.
“Saya mencari anak muda yang mau jadi perajin sampai ke mana-mana. Teu aya (tidak ada) yang tertarik kerja begini. Teu sabar dan telaten ceunah (katanya),” ucapnya, sambil menirukan tanggapan pemuda yang ditawarinya pekerjaan.
Sangat sulit untuk sekarang dan ke depannya, tidak tahu lagi bagaimana mencari tenaga ahli yang terampil.
Asep (50), pemilik usaha keramik lainnya, juga mengalami hal yang sama. Beberapa tahun lalu, ia memiliki empat perajin. Kini, hanya tersisa dua orang. Kondisi tersebut membuatnya kebingungan untuk memenuhi pesanan.
Karena itu, ia pun terpaksa menaikkan upah perajin menjadi hampir dua kali lipat demi memenuhi target pesanan. “Sangat sulit untuk sekarang dan ke depannya, tidak tahu lagi bagaimana mencari tenaga ahli yang terampil,” katanya.
Dede (45), perajin keramik, mengatakan, anak-anaknya tak ada yang tertarik untuk meneruskan keahliannya. Mereka lebih memilih untuk bekerja di pabrik karena penghasilannya lebih menjanjikan.
Gerabah Plered memiliki ciri khas dibandingkan produksi gerabah kota lain. Gerabah itu dibakar dengan suhu 950-1.100 derajat celcius. Selain itu, durasi pembakaran gerabah Plered juga tiga kali lipat lebih lama dibandingkan di sentra produksi lainnya, yakni selama 18-24 jam.
Kondisi kekurangan tenaga perajin itu terkonfirmasi data UPTD Pengembangan Sentra Keramik Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta. Berdasarkan data itu, jumlah tenaga kerja sektor tersebut tahun 2014-2016 sebanyak 3.000 orang. Pada tahun 2017, turun menjadi 2.560 orang dan kemudian menurun lagi menjadi 2.406 orang pada tahun 2018.
Sementara, kapasitas produksi keramik dan gerabah tahun 2014 sebanyak 900.000 buah, sedangkan tahun 2015 sebanyak 1.266.000 buah. Jumlah produksi cenderung fluktuatif, pada tahun 2017 menurun menjadi 1.135.000 buah dari tahun sebelumnya 1.420.000 buah. Namun, produksi meningkat lagi menjadi 1.230.000 buah pada tahun 2018.
Kepala Bidang Usaha Kecil Menengah (UKM) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta Ahmad Nizar mengatakan, kapasitas produksi keramik Plered masih jauh untuk memenuhi tingginya permintaan pasar. Hal itu salah satunya disebabkan kendala regenerasi perajin sehingga produktivitas menjadi terhambat.
Nizar mengatakan, pihaknya terus mendorong pelatihan bagi warga, tapi hal itu dirasa tak efektif jika tidak ada kemauan dari warga untuk menekuni kerajinan tersebut. Ia pun berencana melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi terkait analisis usaha keramik.
“Kemampuan organisasi dan manajemen usaha para perajin serta sikap wirausaha yang baik perlu ditingkatkan supaya generasi penerus bisa tercipta dan usaha keramik ini tetap berkesinambungan,” ucap Nizar.