Sebanyak 11 Surat Kabar Era Hindia Belanda dan Jepang Dipamerkan di Pontianak
Sebanyak 11 surat kabar yang pernah terbit di Kalimantan Barat pada masa kolonial Hindia-Belanda dan Jepang dipamerkan di Pontianak Selasa (15/10/2019) hingga Jumat (1/11/2019).
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Sebanyak 11 surat kabar yang pernah terbit di Kalimantan Barat pada masa Hindia-Belanda dan Jepang dipamerkan di Pontianak, Selasa (15/10/2019) hingga Jumat (1/11/2019). Pameran itu membawa pengunjung pada suasana sosial, ekonomi, budaya, dan politik pada masanya serta jendela warisan pemikiran antargenerasi.
Pameran tersebut akan dilaksanakan di beberapa lokasi di Pontianak. Sebagai pembuka, pameran digelar di Kantor Berita Antara pada 15-16 Oktober 2019. Selanjutnya, pameran berlanjut di Maga Mall (16-20 Oktober 2019), Daoem Lebat Café (22-25 Oktober 2019), Kopi BOS (26-29 Oktober 2019), dan ditutup di PMK Co-Working Space (31 Oktober-1 November 2019).
Kegiatan tersebut diinisiasi 14 komunitas, antara lain pegiat sejarah, jurnalis, pegiat kajian budaya dan literasi, seniman serta guru. Surat kabar yang dipamerkan salah satunya adalah Borneo Barat Bergerak. Surat kabar pertama di Kalbar ini terbit pada 1 Oktober 1919. Selain itu, ada pula surat kabar lainnya, seperti Halilintar, Soeara Borneo, Warta Borneo, Berani, Sinar Borneo, Kapoeas Bode, Oetoesan Borneo, Matahari Borneo, Borneo Barat, dan Borneo Shimbun.
Ahmad Sofian, panitia kegiatan bertajuk ”Seratoes-248 Oktober Moment” itu, Rabu (16/10/2019), menuturkan, pameran tersebut dilaksanakan pada Oktober bertepatan dengan 100 tahun surat kabar pertama Kalbar. Selain itu, bertepatan pula dengan ulang tahun ke-248 Kota Pontianak.
”Kegiatan ini tidak hanya bernostalgia dengan peristiwa-peristiwa pada masanya. Namun, untuk bersama-sama mengetahui sejarah penerbitan surat kabar di Kalbar. Di dalamnya, terdapat berbagai fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan politik di masa itu,” ujarnya.
Yusri Darmadi, salah satu kurator di acara itu dan peneliti di Balai Pelestarian Budaya Kalbar, menjelaskan, generasi kini akan berimajinasi ke masa lalu. Banyak hal unik di situ, misalnya, suasana Taman Alun-alun Kapuas tempo dulu saat polisi Hindia Belanda berpatroli menggunakan sepeda.
”Jadi, pada masa itu polisi Hindia-Belanda menangkap warga yang tidak bisa menunjukkan bukti pembayaran pajak. Warga yang keberatan menulis surat pembaca ke surat kabar sebagai bentuk protes,” kata Yusri.
Berita-berita pada periode kolonial juga tidak lepas dari kondisi sosial dan politik pada masanya. Koran sebagai alat perjuangan. ”Bahkan, untuk iklan saja ada yang tidak memungut bayaran demi idealisme,” kata Yusri.
Kehadiran media massa dalam mendukung perjuangan kemerdekaan sangat besar. Dengan tersebarnya berita dan informasi serta wacana akhirnya masyarakat tersadarkan. Bahkan, informasi tidak hanya lokal, tetapi isu-isu internasional.
Di media massa juga terjadi persaingan ideologi. Media massa menjadi ranah pertarungan ideologi. Namun, visinya satu ke arah kemerdekaan dengan menggugah kesadaran publik melalui wacana-wacana yang dibangun.
Hal itu tergambar dalam slogan-slogan yang terdapat di media massa tersebut. Sebagai contoh, di surat kabar Berani: ”Barang Siapa jang Bentji Kita, ialah Moesoeh Kita”. Di surat kabar Soeara Borneo: ”Boeat Penjokong dan Pemimpin Kaoem Boeroeh Segala Bangsa”. Surat kabar Halilintar juga menebar semangat melalui slogannya yang menggugah: ”Siapa jang Mengisap Kita?”.
Khairul Fuad, peneliti sastra Balai Bahasa Kalbar, yang datang ke pameran itu, menuturkan, dirinya ingin menelusuri karya sastra yang dimuat di surat kabar masa itu. Surat kabar tidak lepas dari kesastraan. Sastra bagian dari masyarakat, lahir dari informasi yang ada di masyarakat. Surat kabar menginformasikan itu.
”Saya menemukan karya sastra di salah satu surat kabar berupa pantun. Surat kabar pada masa itu sudah menjadi wadah ekspresi sastrawan dan seniman,” kata Fuad.
Sastra tidak muncul dalam ruang kosong. Ada budaya di zaman itu yang mendasarinya.
Karya sastra mewakili situasi di zamannya. Proses internalisasi apa yang terjadi di masyarakat dalam bentuk karya sastra dahulu dan sekarang tentu berbeda. Semaunya tergantung dari situasi yang melatarbelakanginya.
”Sastra tidak muncul dalam ruang kosong. Ada budaya di zaman itu yang mendasarinya,” papar Fuad.
Annisa dari Komunitas Wisata Sejarah Pontianak yang juga panitia menuturkan, selain berita-berita bernuansa nasionalisme juga terdapat, tren masa itu. Di situ tergambar iklan-iklan otomotif berupa sepeda dan mobil dengan model lawas.
Rahmad (18), mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Pontianak, mengatakan, ia dan beberapa rekannya tertarik mengunjungi pameran karena penasaran dengan bahasa dan tampilan surat kabar zaman dahulu. Selain itu, ada penugasan dari dosen untuk mencari bahasa serapan.