Perajin baru batik bermunculan di sejumlah desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, selama sekitar tiga tahun terakhir. Desa-desa itu sebelumnya tidak memiliki akar budaya membatik.
Oleh
Defri Werdiono
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS - Perajin baru batik bermunculan di sejumlah desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, selama sekitar tiga tahun terakhir. Desa-desa itu sebelumnya tidak memiliki akar budaya membatik. Meski volume produksinya masih sangat terbatas, pemasaran batik tulis tersebut lancar.
Beberapa desa perajin batik baru itu antara lain Desa Rejosari, Kecamatan Bantur; Desa Rembun, Kecamatan Dampit; Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari; dan Putat Kidul, Kecamatan Gondanglegi. Pada Selasa (2/10/2019), mereka mengisi pameran Malang Coffee Ethnic di Malang.
Pasar kami sampai luar Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi.
“Pasar kami sampai luar Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Di luar negeri juga ada pesanan dari tenaga kerja indonesia. Di Pulau Jawa sendiri ada yang sampai ke Jawa Tengah,” ujar Riyani Ambarwati (50), pemilik Batik Tulis “Ndhil Koro” dari Dusun Krajan, Desa Rejosari.
Batik Tulis “Ndhil Koro” berdiri tahun 2016. Motifnya gaya malangan, seperti topeng dan lautan. Harga batik bervariasi, mulai Rp 200.000 hingga Rp 1,5 juta per lembar. Untuk motif sederhana, menurut Riyani, pihaknya bisa memproduksi 20-30 lembar batik dalam sebulan. Sedangkan untuk motif rumit hanya empat lembar dalam satu bulan.
Batik “Ndhil Koro” dikerjakan secara berkelompok oleh 19 orang. Namun, perajin yang aktif hanya enam orang. Usaha batik ini muncul setelah ada pelatihan dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Kabupaten Malang tahun 2016. Sebelumnya, Rejosari tidak memiliki budaya membatik. Daerahnya agraris dan agak kering saat kemarau.
“Kami mendapat pelatihan selama tiga hari oleh Disperindag. Kami lalu dikirim magang belajar membantik di Pekalongan, Jawa Tengah,” kata Riyani. Dia pun mengaku tidak khawatir bersaing dengan batik printing buatan pabrik. Alasannya, batik tulis menjual seni sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pecinta batik.
Selain penjualan langsung dan mengikuti pameran, pemasaran Batik Tulis “Ndhil Koro” juga memanfaatkan pemasaran daring (online). Desa Rejosari memiliki fasilitas ruang pamer milik Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) guna memamerkan batik setempat sebagai produk unggulan desa.
Seperti di Rejosari, tiga tahun terakhir warga Desa Rembun, Kecamatan Dampit, juga mulai menekuni batik. Ada enam orang yang menggeluti kerajinan itu di sela-sela aktivitas sehari-hari. Dalam sebulan, mereka bisa membuat enam helai batik.
Produk itu dijual melalui pameran maupun secara langsung di rumah. Motif batik disesuaikan dengan ikon Dampit sebagai penghasil kopi di lereng selatan Gunung Semeru.
Batik tulis prosesnya lama. Meski begitu, pembeli tetap ada.
Harga batik tulis di Desa Rembun yakni Rp 350.000-Rp 400.000 tiap helai, menyesuaikan dengan daya beli masyarakat desa. “Batik tulis prosesnya lama. Meski begitu, pembeli tetap ada. Mahal memang, tapi kami tidak khawatir bersaing dengan batik printing,” ujar Sutiah (52), pembatik dari Desa Rembun.
Perajin batik baru juga dijumpai di Wonosari, Kecamatan Wonosari, dan Putat Kidul di Gondanglegi. Suherni (44), perajin batik di Wonosari, menuturkan, batik buatan warga sudah ada yang menembus pasar luar pulau, seperti Kalimantan dan Bali. Penjualannya dilakukan secara konvensional melalui perantara teman.
Dengan harga Rp 250.000-Rp 600.000, batik bermotif pohon dewandaru (ikon Gunung Kawi yang ada di Wonosari) itu setiap bulan rata-rata terjual 6-7 lembar. Seperti Desa Rejosari dan Rembun, sebelumnya di Wonosari juga tidak memiliki latar belakang budaya membatik.
Produksi batik di Putat Kidul juga pemasarannya sampai Nusa Tenggara Barat. Perajin di tempat ini juga sudah menggunakan canting listrik sehingga goresan malamnya lebih rapih.
“Persaingan kami tidak kalah dengan batik printing. Konsumennya kalangan pegawai swasta dan pemerintah. Warga umum juga ada yang beli, tetapi kalangan tertentu saja,” kata Yuliani, perajin batik dari Putat Kidul.