Selain pola budidaya, pengolahan pascapanen juga turut menentukan jati diri tanaman kopi di satu daerah. Proses pengeringan buah kopi bisa secara alami atau menggunakan alat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
UNGARAN, KOMPAS - Selain pola budidaya, pengolahan pascapanen juga turut menentukan jati diri tanaman kopi di satu daerah. Dengan proses pengeringan buah kopi yang berbeda, secara alami atau menggunakan alat, misalnya, akan menghasilkan karakteristik yang berbeda pula.
Kopi di kawasan Gunung Kelir, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, selama ini dikenal dengan kopi varian Mocha Java karena memiliki aroma khas moka. Namun, para petani sebenarnya masih mencari jati diri kopi tersebut. Sebab, peralatan pengolahan pascapanen masih terbatas.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Gunung Kelir Ngadiyanto, di Dusun Sirap, Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Rabu (2/10/2019), mengatakan, selama ini, pengeringan dilakukan dengan menghampar kopi di bawah terik matahari.
“Akan ada bantuan alat pengering dari Universitas Diponegoro (Undip) untuk Kelompok Tani Rahayu IV, yang mampu mengeringkan 100 kg kopi dalam 10 jam. Dengan cara manual, perlu sekitar tujuh hari. Ini kesempatan untuk mencari jati diri kopi Gunung Kelir,” ujar Ngadiyanto, yang juga Ketua Poktan Rahayu IV.
Apabila pengeringan dengan alat meningkatkan kualitas, maka karakteristik yang dimiliki kopi Gunung Kelir semakin kuat. Hal tersebut menjadi nilai tambah untuk publikasi dan pemasaran. Selain moka, kata Ngadiyanto, kopi di dusunnya juga terkenal memiliki aroma kacang.
Akan ada bantuan alat pengering dari Universitas Diponegoro (Undip) untuk Kelompok Tani Rahayu IV, yang mampu mengeringkan 100 kg kopi dalam 10 jam. Dengan cara manual, perlu sekitar tujuh hari. Ini kesempatan untuk mencari jati diri kopi Gunung Kelir, ujar Ngadiyanto
Dosen Sekolah Vokasi Undip, Sutrisno menuturkan, alat pengering tersebut berukuran 1,5 meter x 1 meter dan tinggi 4 meter. Alat itu dirancang ia dan timnya, dengan dana dari program Pengembangan Produk Unggulan Daerah, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Menurut Sutrisno, dukungan itu tak terlepas dari kenyataan bahwa pengeringan kopi rakyat masih menggunakan cara tradisional, yakni dihampar. “Selain membutuhkan tempat untuk menghampar, kualitas kopi juga bisa berkurang jika kena hujan,” ujarnya.
Menurutnya, alat pengering akan membutuhkan bahan bakar yakni gas elpiji atau kayu bakar, peralatan listrik, serta satu operator. Namun, dari segi waktu, prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan cara manual, yakni cukup 10 jam per 100 kg kopi. Alat itu rencananya tiba pekan depan.
Anak muda
Ngadiyanto berharap, penggunaan alat tersebut juga nantinya dapat semakin menarik minat anak muda untuk turut terlibat dalam budidaya. “Saat ini, para pemuda bergerak di hilir. Namun, kami harap, mereka juga ikut terlibat dalam budidaya dan pengolahan pascapanen,” katanya.
Wahid Budi Utomo (21), salah satu pemuda Dusun Sirap, menuturkan, saat ini, peran anak muda memang pada pamasaran. Sebelum mereka ambil bagian, hanya sekitar 50 kilogram (kg) biji kopi sangrai yang terjual dalam sebulan. Namun, kini sekitar 200 kilogram biji kopi sangrai terjual per bulan.
Sebelumnya, Kepala Desa Kelurahan Suparno, mengatakan, wisata edukasi kopi memang menjadi daya tarik utama. Semakin populernya budaya minum kopi, anak muda merasa harus terlibat. ”Sehingga tak perlu cari kerja ke luar daerah,” katanya. (Kompas, 28 Desember 2018).
Adapun luas Desa Kelurahan sekitar 350 hektar dan 75 persen di antaranya ditanami kopi. Di Dusun Sirap saja terdapat 35 hektar kebun kopi rakyat dengan produksi rata-rata 1,4 ton biji kopi per hektar. Lebih dari dua tahun terakhir, produksi dan penjualan terus berkembang.