Petani dinilai akan semakin sengsara jika Rancangan Undang-Undang Pertanahan disahkan. Di sisi lain, kebijakan itu dinilai lebih banyak menguntungkan korporasi dengan pemberian masa izin yang lebih panjang.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·2 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Petani dinilai akan semakin sengsara jika Rancangan Undang-Undang Pertanahan disahkan. Di sisi lain, kebijakan itu dinilai lebih banyak menguntungkan korporasi dengan pemberian masa izin yang lebih panjang dari sebelumnya.
Hal itu disuarakan ratusan mahasiswa dan organisasi yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat (ALPERA) di depan kantor DPRD Provinsi Kalteng, Selasa (24/9/2019). Mereka melaksanakan aksi memperingati Hari Tani Nasional dan menyikapi berbagai kebijakan baru produk pemerintah.
Korupsi sumber daya alam akan semakin merajalela, petani pun tertindas.
Beberapa kebijakan yang dinilai tidak sesuai dengan keinginan rakyat antara lain, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP, RUU Pertanahan, dan Revisi Undang-Undang KPK. Menurut mereka, korupsi akan semakin merajalela, petani akan kian tertindas.
“Pemerintah sibuk membuat kebijakan yang tidak menjadi solusi, bahkan memperburuk. Korupsi sumber daya alam akan semakin merajalela, petani pun tertindas,” ungkap Koordinator Lapangan ALPERA Obi Seprianto.
Obi menjelaskan, pihaknya memiliki beberapa tuntutan ke pemerintah, dalam hal ini DPR. Tuntutan itu antara lain, menolak RUU Pertanahan, mendampingi petani lokal, menstabilkan harga, stop merampas lahan warga, menghentikan kriminalisasi terhadap petani, dan mengusut tuntas konflik agraria di Kalteng.
Koordinator Sekber Anti-Asap Kartika Sari, yang bergabung dalam aksi tersebut, mengungkapkan, petani menjadi kambing hitam dari berbagai persoalan, salah satunya kebakaran hutan dan lahan. Banyak petani ditangkap karena berusaha untuk membuka ladangnya.
“Pemerintah lebih memilih menangkap daripada mendampingi petani dan meningkatkan kesejahteraannya. Ini tidak menyelesaikan persoalan,” ungkap Kartika.
Kartika menjelaskan, sumber persoalan kebakaran hutan dan lahan adalah tata kelola lahan yang tidak adil. Monopoli tanah terjadi di mana-mana. Bukan menyelesaikan persoalan itu, pemerintah justru membuat kebijakan yang mempersulit keadaan, khususnya petani.
“Petani dikriminalisasi, reforma agraria tidak jalan, perampasan tanah masih di mana-mana. Ini harusnya yang jadi perhatian,” ungkap Kartika.
Menanggapi hal itu, Anggota DPRD Provinsi Kalteng Freddy Ering bersama seluruh anggota DPRD di Kalteng menerima tuntutan mahasiswa dalam unjuk rasa itu. Ia juga berjanji akan datang ke Jakarta untuk menyampaikan tuntutan mahasiswa.
“Kami mencermati juga pasal-pasal yang kontroversial, selain tuntutan kami juga akan mengkaji pasal-pasal yang akan kami suarakan ke pusat,” kata Freddy.
Freddy menjelaskan, pihaknya meminta DPR untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Penegakan hukum, lanjutnya, juga sedang berjalan dan tentunya harus adil dan tajam ke semua pihak, tak hanya peladang. “Kami akan meminta pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan kembali keputusan yang kontroversial itu,” ungkap Freddy.