Cegah Kekerasan Pelajar, Orangtua Mesti Lebih Berperan
Tindak kekerasan yang melibatkan pelaku dari kalangan pelajar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta terus berulang. Orangtua diminta lebih berperan mencegah kekerasan oleh para pelajar.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kekerasan yang melibatkan pelajar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta terus berulang. Orangtua diminta lebih berperan mencegah kekerasan oleh pelajar karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan terdekat dengan anak. Internalisasi pendidikan karakter juga mesti diperdalam.
Terakhir, Egy Hermawan (17), siswa SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta, meninggal setelah dibacok sekelompok orang di Yogyakarta, Minggu (22/9/2019). Saat itu, korban baru saja menonton pertandingan kejuaraan futsal antar-SMA/SMK.
Korban terluka senjata tajam pada rusuk kiri. Dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Kepala Kepolisian Resor Kota Yogyakarta Komisaris Besar Armaini mengatakan, empat tersangka ditangkap. Keempatnya adalah WH (16), NMA (18), PSP (17), dan LK (17). Mereka masih berstatus pelajar.
”Empat orang ini punya peran vital dalam peristiwa tersebut. Ini kami amankan satu per satu,” kata Armaini di Markas Polres Kota Yogyakarta, Yogyakarta, Selasa (24/9/2019).
Armaini menjelaskan, menurut pengakuan para tersangka, aksi itu terjadi karena korban dianggap menantang. Ada aksi saling ejek yang membuat para tersangka mengejar korban yang sedang bersama teman-temannya.
NMA merupakan pihak yang mengajak para tersangka lain mengejar korban. Setelah terkejar, korban dikeroyok dan dipukuli. PSP dan LK ikut serta memukuli korban. WH, yang membawa celurit, menyabetkan senjata tajam itu ke korban. Akhirnya, korban meregang nyawa karena kehabisan darah.
Armaini mengungkapkan, WH mencoba menghapus jejak dengan membuang celurit. Usaha itu tak berhasil. Aparat kepolisian tetap berhasil meringkus para tersangka itu melalui rekaman gambar yang didapat dari tempat kejadian perkara.
Selain itu, Armaini mengungkapkan, para tersangka juga terlibat dalam geng sekolah bernama Respect. Para tersangka itu berasal dari sekolah yang berbeda-beda. Tiga dari empat tersangka itu pun sebelumnya pernah terlibat kasus hukum.
NMA pernah melakukan perusakan sepeda motor pada 2017. PSP pernah melempar bom molotov ke arah tongkrongan geng sekolah lain pada 2017. Adapun LK pernah melakukan pembacokan yang menyebabkan korban luka. Penindakan hukum ketiganya berupa diversi. Dasarnya, saat itu, mereka masih berusia di bawah 18 tahun.
”Kali ini, kasus tetap diproses. Sebab, kejahatan mereka sudah sangat berat, sampai menghilangkan nyawa orang,” kata Armaini.
Atas perbuatannya, keempat tersangka dikenai Pasal 338 KUHP. Adapun ancaman hukuman 15 tahun penjara. Masih ada tiga sampai empat terduga pelaku yang dicari aparat kepolisian untuk didalami perannya dalam kasus itu. Penyelidikan masih terus berlanjut untuk mengungkap kasus itu secara gamblang.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Hadi Utomo mengatakan, pihaknya mendorong masyarakat mendapatkan kepastian hukum dan tidak akan pandang bulu. Apabila melanggar peraturan perundang-undangan, tentu akan ditindak sesuai aturan.
Secara terpisah, Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Tri Widyatmoko mengatakan, persoalan kekerasan jalanan oleh pelajar disebabkan masalah pendidikan karakter. Pihaknya berupaya menginternalisasikan pendidikan karakter kepada peserta didik melalui Perda DIY Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggara Pendidikan Berbasis Budaya.
Tri menambahkan, karakter anak juga hasil pembentukan dari orangtua. Menurut dia, dalam fenomena kekerasan pelajar ini, orangtua juga punya peranan besar mendidik anaknya agar tidak terjerumus ke dalam aksi-aksi kekerasan. Pasalnya, keluarga menjadi tempat yang paling dekat sekaligus tempat anak tumbuh dan berkembang.
Armaini menambahkan, polisi telah berusaha mencegah aksi kekerasan pelajar dengan sosialisasi ke sekolah-sekolah, mulai dari penyuluhan langsung hingga menjadi pemimpin upacara dengan pemberian imbauan. Namun, terkadang dari pelajar sendiri masih sering curi-curi kesempatan untuk ikut bertindak kekerasan itu. Tidak jarang orangtuanya sendiri tak mengetahui aksi-aksi yang dilakukan anak mereka.
Oleh karena itu, Armaini berpendapat, orangtua merupakan pihak yang sebenarnya paling mampu menghindarkan anak dari berbagai tindak kekerasan. Anak harus benar-benar diperhatikan dan terjaga. Jangan sampai mencari ruang eksistensi diri di kelompok lain yang bisa menjerumuskan mereka pada hal-hal negatif.