Demo di Mataram Tolak RUU Pertanahan dan Tindak Tegas Pembakar Hutan
Hari Tani Nasional ke-59 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (24/9/2019) diperingati dengan demonstrasi oleh organisasi masyarakat sipil, organisasi petani, dan organisasi mahasiswa.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Hari Tani Nasional ke-59 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (24/9/2019) diperingati dengan demonstrasi oleh organisasi masyarakat sipil, organisasi petani, dan organisasi mahasiswa. Dalam aksi tersebut, mereka menegaskan penolakan terhadap penetapan Rancangan Undang-Undang Pertanahan termasuk mendesak pemerintah pusat menindak tegas pelaku pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Pantauan Kompas, aksi yang dilakukan oleh seratus lebih orang antara lain dari Front Perjuangan Rakyat Nusa Tenggara Barat (FPR-NTB), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) NTB, Front Mahasiswa Nasional, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria itu, dimulai sekitar pukul 10.00 Wita.
Mereka terlebih dahulu berkumpul di Arena Budaya Universitas Mataram di kawasan Jalan Pemuda Mataram. Dari sana, mereka kemudian bergerak menuju Jalan Pejanggik, tepatnya di depan Kantor Gubernur NTB. Aksi tersebut membuat akses lalu lintas di salah satu jalan utama Kota Mataram itu ditutup dan dialihkan oleh kepolisian ke jalur lain.
Begitu tiba di lokasi, para demonstran langsung berorasi secara bergiliran. Selain berorasi, mereka juga menampilkan aksi teatrikal, termasuk membaca puisi tentang petani. Aksi tersebut mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Mataram Ajun Komisaris Besar Saiful Alam, mereka mengerahkan 150 personel untuk mengawal aksi. Selain di kawasan Jalan Pejanggik, sebagian juga dikerahkan untuk berjaga di dalam kompleks Kantor Gubernur NTB.
Setelah berorasi dan membacakan tuntutan secara langsung, sejumlah perwakilan demonstran diminta masuk ke komplek kantor Gubernur NTB. Di sana, mereka kemudian melakukan audiensi dengan Pejabat Sekretaris Daerah NTB H Iswandi dan jajarannya.
Koordinator FPR NTB Habiburrahman mengatakan, mereka menuntut agar Presiden Joko Widodo tidak meneptakan Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Kami menolak penetapan RUU Pertanahan karena dalam beberapa pasal hanya memberikan keuntungan bagi para tuan tanah dan perusahaan-perusahaan pemegang konsensi pertanahan dan sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi kaum tani,” kata Habiburrahman.
Menurut Habiburrahman, RUU Pertanahan juga dinilai hanya akan menghilangkan hak rakyat atas tanah. Bahkan beberapa pasalnya mengandung unsur kriminalisasi bagi kaum tani yang berjuang mempertahankan tanahnya dari ancaman penggusuran.
Pasal yang disoroti misalnya Pasal 141 Ayat 5 yang terkesan memberi “kesewenang-wenangan”. Pasal itu memberi ruang menteri menentukan kebijakan terkait hak pengelolaan dalam kondisi tertentu. ”Penjelasan ’keadaan tertentu’ tak dijumpai,” kata Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, Selasa (3/9/2019), di Jakarta. Pasal 141 Ayat 5 memberi diskresi amat besar bagi menteri. Itu membuka celah penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan segelintir orang (Kompas, 4 September 2019).
Ketua Wilayah LMND NTB Agusman menambahkan, tanah tidak boleh dijadikan alat eksploitasi. Menurut dia, tanah harus menjadi milik para petani. “Tanah harus menjadi milik mereka yang benar-benar menggarapnya. Bukan mereka yang tidak berbuat apa-apa dan memaksa orang lain untuk bekerja,” kata Agusman.
Oleh karena itu, dalam audiensi tersebut, Habiburrahman meminta kepada pemerintah provinsi untuk ikut bersikap menolak pengesahan RUU Pertanahan. “Ini demi kemaslahatan kaum tani dan rakyat di NTB secara umum,” kata Habiburrahman.
Selain itu, kata Habiburrahman, mereka juga meminta agar menghentikan segala bentuk teror, intimidasi, upaya memecah belah, serta kriminalisasi terhadap petani.
“Hal itu karena para petani yang berjuang baik merebut kembali atau mempertahankan tanahnya dari perampasan bukan tindakan kriminal. Jadi, harus diselesaikan secara persuasif, bukan fasis,” kata Habiburrahman.
Dalam tuntutannya, mereka juga mendesak pemerintah agar mengurangi konsesi-konsesi pertanahan bagi tuan tanah baik dalam bentuk lembaga negara atau perusahaan-perusahaan pekerbunan skala besar, pertambangan skala besar, serta pengembangan pariwisata skala besar.
“Semua hal itu telah terbukti merampas tanah-tanah rakyat sehingga kaum tani di pedesaan hidup dengan keterbatasan tanah untuk produksi,” kata Habiburrahman.
Kebakaran lahan
Dalam kesempatan itu, demonstran juga menyoroti tentang kebakaran lahan yang saat ini terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Oleh karena itu, menurut Habiburrahman, mereka juga mendesak agar pemerintah menindak tegas perusahaan pelaku pembakaran lahan yang mengakibatkan kabut asap di Sumatera dan Kalimantan.
“Selain itu, kami juga mendesak agar korban asap seperti yang terkena infeksi saluran pernapasan akut agar mendapat perhatian serius mendapat pelayanan kesehatan,” kata Habiburrahman.
Dalam udiensi tersebut, Iswandi mengatakan telah mencatat semua tuntutan para demonstran. Semua tuntutan, menurut Iswandi akan menjadi masukan bagi perumusan kebijakan mereka. Meski demikian, dia tidak secara tegas menyampaikan sikap Pemerintah Provinsi NTB terkait RUU Pertanahan.