Kesejahteraan Petani Kopi di Hulu Harus Jadi Perhatian
Gelombang ketiga dunia kopi, termasuk di Indonesia ditandai geliat masyarakat untuk lebih mengenal cita rasa kopi. Salah satunya pada generasi milenial.
Oleh
ismail zakaria
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Gelombang ketiga dunia kopi, termasuk di Indonesia ditandai geliat masyarakat untuk lebih mengenal cita rasa kopi. Salah satunya pada generasi milenial. Terkait itu, para pelaku di industri kopi diajak melihatnya sebagai peluang dengan menerapkan pendekatan keberlanjutan.
Hal itu mengemuka dalam lokakarya tentang kopi bertajuk "Historika Kopi dan Gaya Hidup" di Acibara Coffee and Creative Hub Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (20/9/2019). Lokakarya tersebut merupakan salah satu rangkaian dari Festival Pesona Senggigi 2019 yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.
Hadir selaku pemateri yakni peneliti dan penulis buku tentang kopi Prawoto Indarto, Aendra Medita dari Coffee Channel Jakarta, peneliti sekaligus pengusaha kopi asal NTB Qwadru Wicaksono, musisi yang terjun di industri kopi Gilang Ramadhan.
Prawoto mengatakan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia diguncang kopi. Tidak hanya penikmat, termasuk di dalamnya generasi milenial, tetapi juga petani di tingkat hulu.
"Kita baru tahu kopi yang bagus itu seperti ini, prosesnya seperti ini, nyeduhnya seperti ini, dan lainnya," kata Prawoto.
Kondisi itu, menurut Prawoto, merupakan bagian dari gelombang ketiga dunia kopi. "Istilahnya, masyarakat sudah diajak mengeksplor cita rasa kopi. Apalagi sekarang, cita rasa yang keluar begitu banyak. Kalau di gelombang pertama dan kedua, cenderung gelap atau lebih pahit," kata Prawoto.
Eksplorasi cita rasa pada kopi, kata Prawoto, menjadi daya tarik bagi generasi milenial yang memang menjadi salah satu penikmat kopi saat ini. Bisa mengeksplorasi rasa, menjadi sebuah tantangan bagi generasi yang lahir antara 1981-1997 itu.
Menurut Aendra, kondisi itu atau di mana kopi telah menjadi bagian dari gaya hidup, mendorong tren munculnya kafe di Indonesia. Tidak hanya dalam skala besar, tetapi juga berupa konter-konter kecil.
"Di Jakarta, misalnya, sekarang ada fenomena konter-konter kecil dengan nama-nama yang beragam. Ternyata, konter-konter itu sangat ramai dan menjadi tempat milenial nongkrong," kata Aendra.
Tumbuhnya konter-konter kecil yang menjual kopi dan ternyata diminati kelompok milenial tersebut, kata Aendra, memang tidak muncul begitu saja. Melainkan hasil kemampuan mengkomunikasikan produk yang mereka miliki dan menjadi sebuah ikon bagi milenial.
Menurut Aendra, hal itu yang memang harus dilakukan pengusaha di industri kopi agar bisa tetap bertahan. Kemampuan mereka untuk mengejawantahkan gaya hidup sebagai jualan (branding).
"Perlu ada analisa SWOT (kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan tantangan) dalam bisnis (kopi). Itu menjadi bagian terpenting. Karena ada juga kafe yang baru bukan enam bulan, sudah hilang," kata Aendra.
Penguatan hulu
Oleh karena itu, menurut Prawoto, edukasi juga penting. Tidak hanya untuk pekerja di industri kopi, tetapi penikmat termasuk kaum milenial. "Sesekali, mereka juga perlu diajak bermain ke hilir. Dengan begitu, mereka akan punya pandangan tentang kopi. Dengan begitu, mereka akan jauh lebih peduli pada petani, lebih tahu proses, dan harapannya bisa belajar dari sana," kata Prawoto.
Strategi itu menjadi bagian dari upaya penguatan di tingkat hulu atau petani kopi. Menurut Prawoto, hal lain yang juga bisa dilakukan oleh pelaku industri kopi adalah menjaga kualitas kopi mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga pascapanen. Termasuk proses berikutnya hingga di tingkat kafe.
"Edukasi bagi petani juga sangat penting. Terutama dalam konteks harga. Di hulu, kalau harga bagus, tanaman juga bagus. Kalau harga jelek, maka mereka juga akan pangkas tanaman kopinya," kata Prawoto.
Edukasi bagi petani juga sangat penting. Terutama dalam konteks harga. Di hulu, kalau harga bagus, tanaman juga bagus. Kalau harga jelek, maka mereka juga akan pangkas tanaman kopinya
Selain itu, menumbuhkan kebanggaan petani akan kopi juga bisa dilakukan. "Teman-teman di kafe, misalnya membuat sesi untuk mempertemukan antara petani kopi dari satu daerah dengan daerah lain. Ini akan menumbuhkan rasa bangga mereka. Selama hampir puluhan tahun, petani kopi Indonesia tidak pernah bangga karena harga kopinya sangat rendah," kata Prawoto.
Qwadru menambahkan, edukasi kepada petani memang penting. Selama ini, petani memang dihadapkan pada persoalan bagaimana memelihara pohon kopi mereka.
"Itu karena edukasi untuk mereka kurang. Oleh karena itu, setiap kali turun ke petani, saya mendorong agar mereka bisa menghasilkan produk kopi terbaiknya. Termasuk memilah varietas kopi mereka sehingga ketika panen tidak bercampur," kata Qwadru.
Menurut Qwadru, pengusaha kopi memang tidak boleh hanya sebatas menerima kopi dari petani. Tetapi juga memastikan bagaimana petani memperlakukan pohon kopinya, hingga penanganan pascapanen.
"Itu untuk memastikan petani sudah melakukan hal benar. Kalau belum, maka kita edukasi mereka," kata Qwadru.
Gilang Ramadhan juga menyampaikan hal serupa. Menurut dia, industri kopi memang harus dilihat secara menyeluruh dari hulu hingga hilir. Khusus di hilir, selain manfaat bagi petani, keberlanjutan lingkungan dalam hal ini hutan juga harus menjadi perhatian.
"Makanya, hutan juga harus dijaga. Kalau tidak ada hutan, maka tidak ada kopi," kata Gilang.