Pungli ”Land Reform”, Kades dan Perangkat Desa Dituntut Penjara 1,5 Tahun
Kepala Desa Srimulyo, Kabupaten Malang, Bandot Suprastiyo dan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Kariono dituntut penjara selama setahun dan enam bulan. Mereka dinilai terbukti memungut biaya tidak resmi dari 868 petani.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Kepala Desa Srimulyo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Bandot Suprastiyo dan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Kariono dituntut pidana penjara setahun dan enam bulan. Mereka dinilai terbukti memungut biaya tidak resmi terhadap 868 petani peserta program redistribusi tanah obyek land reform.
Kedua perangkat desa ini juga dituntut pidana denda sebesar Rp 50 juta, subsider dua bulan kurungan. Tuntutan itu disampaikan jaksa dari Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang Hari Suwignyo dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Selasa (17/9/2019).
”Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan subsider,” ujar Hari.
Pada sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Hizbullah Idris tersebut, jaksa mengatakan, Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jatim mengirimkan surat kepada perangkat desa Srimulyo. Isinya tentang penetapan lokasi kegiatan redistribusi tanah obyek land reform (TOL) tahun anggaran 2016. Dalam lampiran surat itu disebutkan wilayah Kabupaten Malang mendapat alokasi 3.000 bidang termasuk Desa Srimulyo, Kecamatan Dampit, yang mendapat alokasi 868 bidang.
”Program redistribusi TOL ini merupakan bantuan negara untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi penggarap dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata sebagai sumber penghidupan rakyat,” ujar Hari.
Program yang dibiayai pemerintah dengan anggaran bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Zona V ini meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jatim, Bali, dan Banten. Harga satuan redistribusi tanah per bidang ditetapkan Rp 306.000 dan Rp 375.000.
Harga satuan itu merupakan biaya keseluruhan per bidang, mulai dari kegiatan penegasan, redistribusi tanah, penerbitan sertifikat hak atas tanah, penyerahan sertifikat, hingga pelaksanaan bina sertifikat tanah. Seluruh biaya itu ditanggung oleh negara melalui APBN dan tidak dibebankan kepada masyarakat atau pemohon.
Masyarakat yang berhak menjadi peserta atau subyek program redistribusi TOL itu, selain warga negara Indonesia, juga bertempat tinggal di kecamatan yang sama dengan lokasi tanah. Menggarap sendiri tanah obyek redistribusi dibuktikan dengan surat penguasaan fisik. Luas penguasaan tanah tidak boleh lebih dari 5 hektar.
Pemohon yang menguasai tanah garapan seluas 0-500 meter persegi dipungut Rp 600.000 per bidang.
Pada Febuari 2019, terdakwa Bandot Suprastiyo, Kariono, dan Kaur Keuangan Edi Krisnowo (almarhum) membicarakan tentang biaya yang akan dipungut secara tidak resmi kepada peserta. Pemohon yang menguasai tanah garapan seluas 0-500 meter persegi dipungut Rp 600.000 per bidang.
Pemohon yang menguasai tanah garapan seluas 500-10.000 meter persegi dipungut Rp 750.000 per bidang. Sementara pemohon yang menguasai tanah garapan seluas 10.000-15.000 meter persegi dipungut Rp 1,350 juta per bidang. Apabila ada pemohon yang belum punya surat oper garap, mereka dikenai pungutan tambahan Rp 500.000 per bidang.
Pungutan tidak resmi itu tidak diatur dalam peraturan perundangan ataupun produk hukum desa, seperti peraturan desa atau surat keputusan kepala desa. Pungutan itu hanya dijelaskan secara lisan kepada peserta program. Peserta yang tidak membayar akan dicoret dari daftar peserta karena terdakwa mengutamakan pemohon yang bersedia membayar pungutan tidak resmi.
Sosialisasi mengenai pungutan tidak resmi dilakukan oleh Bandot sebagai Kades Srimulyo. Dia juga memerintahkan perangkat desa yang lain, seperti pengurus rukun tetangga, rukun warga, dan kepala dusun, untuk melancarkan kegiatan. Oleh karena itulah, jaksa mendakwa terdakwa melakukan pungutan secara berjenjang.
Dari pungutan tidak resmi itu terkumpul uang Rp 417 juta. Sebagian uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi pada terdakwa.
Dari pungutan tidak resmi itu terkumpul uang Rp 417 juta. Sebagian uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi pada terdakwa.
Adapun kasus korupsi ini terungkap setelah ada laporan warga ke Polres Malang. Saat disidik, terdakwa berupaya menyembunyikan perbuatannya dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Desa Srimulyo tentang penunjukan kepanitiaan sertifikat redistribusi pada 2017.
Menanggapi tuntutan jaksa, terdakwa Bandot dan Kariono yang didampingi penasihat hukum yang ditunjuk oleh pengadilan, yakni Yuli, berencana mengajukan nota pembelaan. Dalam nota pembelaan itu, mereka meminta agar majelis hakim memberikan hukuman seringan-ringannya.