Model Pentahelix untuk Pengembangan Kawasan Transmigrasi
Model pentahelix perlu didorong untuk mengoptimalkan pengembangan kawasan transmigrasi. Hal tersebut diyakini mampu mempercepat kemajuan dari kawasan tersebut.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Model pentahelix perlu didorong untuk mengoptimalkan pengembangan kawasan transmigrasi. Hal tersebut diyakini mampu mempercepat kemajuan dari kawasan tersebut. Sinergitas antarlembaga harus dijalin demi menjamin keberhasilan model pengembangan tersebut.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, seusai menjadi pembicara utama dalam Kongres Nasion,al Transmigrasi 2019, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (17/9/2019).
“Tidak bisa pakai paradigma lama. Karena, zamannya sudah berubah. Kita perlu mendorong model-model kolaboratif. Tidak bisa hanya dari pemerintah saja,” kata Eko.
Paradigma lama yang dimaksud adalah pembangunan kawasan transmigrasi hanya dari satu pihak. Pemerintah sebagai aktor utama dari kegiatan tersebut. Ada pihak-pihak lain yang sebenarnya bisa diajak bergerak bersama membangun kawasan transmigrasi melalui model pentahelix.
Dalam kerangka tersebut, terdapat lima pihak yang terlibat, yaitu pemerintah, swasta, akademisi, media, dan masyarakat. Sinergitas dari setiap lini untuk bersama-sama membangun kawasan transmigrasi itu dianggap lebih efektif dalam memajukan daerah. Setiap pihak punya peran masing-masing yang bisa saling menguatkan.
Eko mencontohkan, misalnya, transmigran itu lemah dalam hal pengelolaan aset produksinya. Pihak swasta bisa masuk untuk memberikan pendampingan. Begitu pula akademisi dari perguruan tinggi yang bisa berbagi kajian-kajian andalannya mengenai pengelolaan sumber daya dari daerah tujuan transmigrasi.
Dalam menjamin keberpihakan kolaborasi itu kepada transmigran, Eko menjelaskan, pengelolaan lahan kawasan transmigrasi itu diserahkan sepenuhnya kepada para transmigran. “Pihak swasta hanya diberi ruang sarana pasca panen untuk membantu pemrosesan lebih lanjut dari produk-produk kawasan transmigrasi tersebut,” katanya.
Tidak bisa pakai paradigma lama. Karena, zamannya sudah berubah. Kita perlu mendorong model-model kolaboratif. Tidak bisa hanya dari pemerintah saja, kata Eko.
Selanjutnya, Eko menyampaikan, salah satu daerah transmigrasi yang sudah berhasil dengan konsep pentahelix itu adalah Sumba Timur. Itu dilakukan lewat program Produk Unggulan Kawasan Perdesaan. Daerah yang semula tandus diubah menjadi ladang tebu produktif. Hasilnya, masyarakat transmigran bisa memperoleh penghasilan hingga Rp 85 juta per tahun.
Direktur Jenderal Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi Hari Pramudiono mengatakan, hal yang ingin dicapai melalui konsep kerjasama multisektor itu adalah keterpaduan dalam pengembangan. Semua bergerak bersama-sama agar hasil yang bisa diperoleh lebih optimal.
“Semuanya berkolaborasi untuk melaksanakan pembangunan transmigrasi,” kata Hari Pramudiono.
Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sistem Informasi UGM Supriyadi mengatakan, dalam perwujudan model kerja sama pentahelix, perguruan tinggi tersebut memiliki program kuliah kerja nyata (KKN). Tujuan program itu membangun empati mahasiswa dengan jalan pengabdian kepada masyarakat. Konsep utamanya berupa pemberdayaan.
Semuanya berkolaborasi untuk melaksanakan pembangunan transmigrasi, kata Hari Pramudiono.
Setiap tahunnya, UGM telah mengirimkan lebih dari 8.000 mahasiswa untuk melaksanakan KKN. Kegiatan itu melibatkan lebih dari 250 dosen. Adapun program itu dilasanakan di lebih dari 200 lokasi yang tersebar di 100 kabupaten atau kota, dan 34 provinsi. Itu termasuk daerah-daerah tertinggal.
Salah satu hasil dari kegiatan itu berupa aplikasi bernama “Desa Apps” yang diluncurkan pada tahun 2017. Program itu digunakan untuk membantu petani mulai dari proses penanaman, perawatan, panen, pasca panen, hingga penjualan. Petani bisa berinteraksi langsung dengan para ahli untuk tanya jawab dan berkonsultasi. Mereka juga bisa berbagi informasi dengan petani lainnya.
“Harapan kami, ke depan, aplikasi ini dapat diadopsi oleh seluruh petani di Indonesia. Ini seiring dengan pembangunan infrastruktur teknologi informasi melalui Palapa Ring dan digitalisasi desa,” kata Supriyadi.