Unjuk rasa serentak di tiga lokasi dilakukan oleh mahasiswa Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, untuk menolak rencana pembukaan pertambangan emas di daerah itu.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Unjuk rasa serentak di tiga lokasi dilakukan oleh mahasiswa Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, untuk menolak rencana pembukaan pertambangan emas di daerah itu. Mahasiswa mendesak pemerintah mencabut izin usaha pertambangan di kawasan hutan di kabupaten tersebut.
Aksi menolak pertambangan emas itu dilakukan di Aceh Tengah, Banda Aceh, dan Lhokseumawe pada Senin (16/9/2019). Di Aceh Tengah, demonstrasi dilakukan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK). Di Banda Aceh, aksi dipusatkan di halaman kantor gubernur, sedangkan di Lhokseumawe unjuk rasa berlangsung di tepi jalan protokol.
Koordinator aksi Melissa Putri menuturkan, rencana pembukaan pertambangan emas skala besar di kawasan Linge, Aceh Tengah, bukan kebutuhan mendesak. Menurut dia, lebih baik pemerintah menggenjot produksi pertanian untuk meningkatkan pendapatan petani daripada membuka pertambangan emas.
Pembukaan tambang emas bukan kepentingan warga, melainkan kepentingan pemodal.
Dia mengatakan, kawasan Dataran Tinggi Gayo merupakan sentra pertanian, seperti kopi arabika, alpukat, dan palawija. Pada umumnya, warga Gayo bergantung hidup pada hasil pertanian. Oleh karena itu, lanjut Melisa, pembukaan tambang emas bukan kepentingan warga, melainkan kepentingan pemodal.
”Kami menolak kehadiran perusahaan tambang di Gayo. Selamatkan alam Gayo dari dampak pertambangan,” kata Melissa.
Menurut rencana, pertambangan emas di Aceh Tengah akan dikelola oleh perusahaan modal asing dari Kanada. Lokasi berada di hutan produksi seluas 9.648 hektar dengan potensi produksi 800.000 ton bijih emas per tahun. Saat ini, tahapan perizinan memasuki penyusunan analisis dampak lingkungan.
Juru bicara Pemprov Aceh, Saifullah Abdulgani, mengatakan, perizinan pertambangan modal asing dikeluarkan pemerintah pusat, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pada 2009, ujar Saifullah, izin usaha pertambangan dikeluarkan Bupati Aceh Tengah tanpa ada rekomendasi Gubernur Aceh. Berdasarkan surat keputusan Bupati Aceh Tengah pada saat itu, BKPM mengeluarkan izin prinsip penanaman modal asing.
Namun, lanjut Saifullah, saat ini belum ada aktivitas penambangan di area tersebut. ”Bahkan, Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM pada 12 Maret 2019 telah mengeluarkan surat menghentikan sementara kegiatan di lokasi itu,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur mengatakan, Walhi Aceh jauh-jauh hari telah menyampaikan keberatan atas rencana pembukaan tambang emas di Gayo. Ia menilai, Gayo sebagai kawasan pertanian akan terancam dengan kehadiran tambang.
”Tidak ada tambang yang ramah lingkungan. Warga Gayo tidak ingin menukar kopi dengan tambang,” ujar Nur.
Ia menambahkan, pertambangan emas skala besar di Gayo berdampak buruk terhadap perubahan bentang alam, penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan, penurunan kualitas air permukaan, serta gangguan terhadap habitat satwa liar dan vegetasi.