Seruan Penolakan Revisi UU KPK Menguat di Yogyakarta
Seruan penolakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi terjadi di Yogyakarta. Langkah revisi itu dinilai bakal melemahkan KPK.
Oleh
nino citra
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Seruan penolakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi terjadi di Yogyakarta. Langkah revisi itu dinilai bakal melemahkan KPK. Presiden Joko Widodo didesak tidak mengeluarkan surat keputusan pembahasan lebih lanjut terkait hal ini.
Seruan penolakan dilakukan sejumlah civitas akademika dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Senin (9/9/2019). Mereka sekaligus menandatangani sikap penolakan tersebut di kain putih sepanjang 60 meter.
“Kami menolak tegas segala upaya yang melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini bagian dari peran anak bangsa yang terpanggil ikut bertanggung jawab dengan memberikan masukan ke depan,” kata Rektor UII Fathul Wahid.
Fathul menyatakan, korupsi masih menjadi masalah besar di Indonesia. Dari tahun ke tahun, korupsi terus terjadi. Upaya pemberantasan korupsi dinilainya masih rendah. Sejauh ini, langkah nyata sudah dilakukan UII, salah satunya membuat kajian tentang upaya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kajian itu dilakukan Pusat Studi Hukum UII dan Pusat Studi Kejahatan Ekonomi UII.
Ketua Pusat Studi Hukum UII Anang Zubaidi mengatakan, dalam pembahasan awal revisi UU KPK ini, seolah dilakukan sembunyi-sembunyi. Persoalan transparansi terhadap publik terkait hal ini jelas dipertanyakan.
Selain itu, Anang menyampaikan, rencana pengubahan KPK sebagai lembaga eksekutif yang berada di bawah Presiden, juga jadi perhatian. Kondisi itu bertentangan dengan niat awal pembentukan KPK sebagai lembaga independen.
Anang melanjutkan, berkaitan mengenai status pegawai KPK yang dijadikan aparatur sipil negara, menurut dia, hal itu berpotensi membuat pegawai KPK punya loyalitas ganda. Independensi pegawai, khususnya penyidik, bakal kembali menjadi pertanyaan.
Kemudian, Anang menambahkan, rencana pembentukan dewan pengawas juga dikhawatirkan turut melemahkan KPK. Dibentuk atas inisiatif DPR dan Presiden, terdapat kesan adanya keinginan untuk mengintervensi secara lebih besar terkait kinerja KPK.
“Ini potensial sangat diintervensi. Kewenangan dewan pengawas sangat besar dan dikhawatirkan mengganggu independensi KPK,” kata Anang.
Kepala Pusat Studi Kejahatan Ekonomi UII Ari Wibowo mengungkapkan, seharusnya yang dilakukan bukan revisi UU KPK, tapi revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut dia, masih banyak lubang yang menjadi celah dari peraturan tersebut.
“Maka, sebaiknya, prioritasnya merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bukan, UU KPK yang merupakan hukum acara. Logikanya, KUHP terlebih dulu baru rancangan KUHAP-nya. Bukan sebaliknya,” kata Ari.
Maka, sebaiknya, prioritasnya merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bukan, UU KPK yang merupakan hukum acara. Logikanya, KUHP terlebih dulu baru rancangan KUHAP-nya. Bukan sebaliknya
Anang mengatakan, saat ini, kelanjutan pembahasan revisi UU KPK berada di tangan Presiden Joko Widodo. Ia mendesak Presiden tidak mengeluarkan surat yang menyetujui kelanjutan pembahasan peraturan tersebut. Langkah itu menunjukkan komitmen Presiden terhadap upaya pemberantasan korupsi.
“Kuncinya ada di Presiden. Kalau Presiden tidak mau membahas, tidak akan terjadi itu pembahasan,” kata Anang.
Anang menyatakan, apabila Presiden terlanjur menyetujui kelanjutan pembahasan peraturan itu, jalur konstitusional bakal ditempuh melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut menjadi satu-satunya jalan untuk mencegah terjadinya pelemahan terhadap KPK.
Dihubungi terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto menyampaikan, penolakan revisi UU KPK juga dilakukan ratusan dosen lintas fakultas dari perguruan tinggi tersebut. Hingga Senin siang, sudah ada lebih dari 200 dosen yang menyatakan penolakannya terhadap revisi peraturan itu.
“Substansi dari revisinya, menurut saya itu, justru menghambat pemberantasan korupsi. Itu tampak jelas di pasal-pasalnya, upaya mengubah karakter KPK sedemikian rupa. Kinerja KPK di masa mendatang bisa tidak sesuai dengan harapan,” kata Sigit.
Sigit mengatakan, pihaknya mendesak agar Presiden menolak pembahasan lebih lanjut revisi peraturan tersebut. Ia berharap Presiden bisa ambil sikap tegas terkait hal itu.
“Presiden bisa bersikap, dalam hal ini, untuk tidak melanjutkan proses itu. Itu haknya presiden. Jika seperti itu, Presiden berkomitmen terhadap janjinya untuk memberantas korupsi,” kata Sigit.