Layanan Kesehatan bagi Remaja di Lampung Belum Merata
Di tengah kemajuan teknologi dan perubahan sosial, informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual bagi remaja masih minim. Di lingkup keluarga, informasi tentang hal itu masih dianggap tabu.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Di tengah kemajuan teknologi dan perubahan sosial, informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual bagi remaja masih minim. Di lingkup keluarga, informasi tentang hal itu masih dianggap tabu. Layanan kesehatan reproduksi di puskesmas bagi remaja juga belum merata.
Hal itu mengemuka dalam dialog bertajuk ”Layanan Kesehatan Seksual Reproduksi di Puskesmas”, Rabu (4/9/2019), di Bandar Lampung, Lampung. Acara yang digagas Konsorsium Permampu bekerja sama dengan Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR itu dihadiri sekitar 50 peserta. Mereka terdiri dari para remaja dari sejumlah daerah di Sumatera, pemerhati perempuan, dan Pemprov Lampung.
”Di daerah tempat tinggal saya, akses layanan kesehatan peduli remaja belum tersedia. Akibatnya, kami sulit mendapatkan akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi,” ujar Azimatul, remaja asal Kabupaten Lampung Timur, menyampaikan keluhannya.
Padahal, dia menilai, sejumlah puskesmas di Kota Bandar Lampung telah menyediakan fasilitas ini. Azimatul menyayangkan masih timpangnya fasilitas layanan kesehatan bagi remaja di perkotaan dan perdesaan.
Kondisi itu membuat pengetahuan remaja di desa tentang kesehatan seksual dan reproduksi rendah. Apalagi, masih banyak orangtua yang menganggap informasi tentang hal itu tabu dibicarakan di lingkup keluarga. Padahal, remaja amat rentan terpapar konten pornografi melalui internet. Kondisi ini juga dikhawatirkan memicu tingginya kekerasan seksual dan perkawinan anak.
Pratiwi, remaja lainnya, mengungkapkan, selain minimnya layanan kesehatan, kecakapan tenaga medis saat melayani remaja juga amat rendah. Dia pernah punya pengalaman buruk saat berobat ke puskesmas. Pratiwi yang mengalami sakit lambung disangka hamil oleh petugas kesehatan.
Banyak orangtua yang menganggap informasi tentang hal itu masih tabu dibicarakan di lingkup keluarga. Padahal, remaja amat rentan terpapar konten pornografi melalui internet. Kondisi ini juga dikhawatirkan memicu tingginya kekerasan seksual dan perkawinan anak.
”Saat itu saya muntah, petugas langsung berkata, jangan-jangan kamu sedang hamil,” ujarnya.
Dia menilai, perkataan semacam itu menunjukkan bahwa petugas tidak ramah terhadap remaja. Akibatnya, remaja justru enggan konsultasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi karena dianggap tabu. Selain itu, ruang pemeriksaan juga terbuka sehingga privasi pasien remaja tidak terjaga.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Lampung Lusi Damayanti menuturkan, pemerintah telah berupaya mendorong seluruh puskesmas menyediakan layanan standar minimal. Program akreditasi juga menuntut puskesmas memberikan layanan terbaik, termasuk akses kesehatan bagi remaja dan warga lansia.
Akan tetapi, kata Lusi, pelayanan yang diberikan puskesmas harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dia mencontohkan, jika terdapat banyak penduduk usia lanjut usia, puskesmas akan memprioritaskan layanan itu.
Risiko tengkes
Lebih jauh, perkawinan anak dapat meningkatkan risiko bayi tengkes (stunting) karena diasuh orangtua yang tidak memahami pentingnya gizi dan pola asuh yang baik. Untuk itu, pemerintah telah berupaya secara optimal menyosialisasikan tentang pentingnya kesehatan seksual dan reproduksi melalui sekolah dan keluarga.
Dia menambahkan, dibutuhkan peran dari instansi lain dan lingkungan untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual, perkawinan anak, dan tengkes. Terkait hal itu, pihaknya telah mendorong agar pemerintah mengeluarkan peraturan gubernur atau peraturan daerah.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lampung Bayana menuturkan, rendahnya literasi remaja tentang kesehatan reproduksi dan seksual dapat mengancam bonus demografi yang akan diraih Indonesia pada 2030. Banyak di antara mereka terancam penyakit menular seksual dan komplikasi dari merokok sebagai akibat terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk pendidikan kesehatan reproduksi.
”Para remaja putri menghadapi kemungkinan pernikahan dini. Banyak orang muda belum berkesempatan optimal mendapat pendidikan berkualitas,” katanya.