Kompetensi dan Perlindungan Pengemudi Mendesak Ditingkatkan
Penegakan hukum dalam kasus kecelakaan lalu lintas dinilai belum cukup mencegah berulangnya kecelakaan. Kompetensi dan perlindungan terhadap pengemudi yang jadi ujung tombak keselamatan di jalan mendesak ditingkatkan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Penegakan hukum dalam kasus kecelakaan lalu lintas dinilai belum cukup mencegah berulangnya kecelakaan. Kompetensi dan perlindungan terhadap pengemudi yang menjadi ujung tombak keselamatan di jalan mendesak ditingkatkan.
”Selama ini, kelalaian pengemudi selalu menjadi penyebab kecelakaan. Pengemudi lalu menjadi tersangka. Padahal, banyak pihak berperan mencegah kecelakaan,” kata Ketua Himpunan Profesi Pengemudi Indonesia (HPPI) DPD Jawa Barat Eddy Suzendi, Rabu (4/9/2019), kepada Kompas, di Kabupaten Cirebon, Jabar.
Pernyataan tersebut terkait kasus kecelakaan yang terjadi di jalan bebas hambatan akhir-akhir ini, termasuk kecelakaan beruntun di Kilometer 91 Tol Purbaleunyi-Bandung-Cileunyi, Senin (2/9/2019). Delapan orang tewas dalam kecelakaan yang melibatkan 20 kendaraan tersebut.
Peristiwa naas itu bermula dari dua truk yang mengalami rem blong. Kepala Kepolisian Daerah Jabar Inspektur Jenderal Rudy Sufahriadi mengatakan, rem tidak berfungsi karena kedua truk mengangkut muatan berlebih. Truk membawa 37 ton tanah dari batas maksimal 24 ton. Kendaraan itu diduga melaju kencang karena transmisi truk berada di gigi enam, gigi maksimal. (Kompas, 4/9/2019).
”Kalau begini, pengemudi selalu disalahkan. Padahal, apakah sopir itu tahu daya angkut maksimal kendaraan yang dibawa? Kalaupun tahu, apakah dia bisa menolak? Jika menolak, dia tidak dapat uang,” ujar Eddy. Oleh karena itu, pencegahan kecelakaan lalu lintas tidak boleh hanya berhenti pada penegakan hukum.
Kalau begini, pengemudi selalu disalahkan. Padahal, apakah sopir itu tahu daya angkut maksimal kendaraan yang dibawa? Kalaupun tahu, apakah dia bisa menolak? Jika menolak, dia tidak dapat uang.
Menurut dia, secara regulasi, pengemudi belum terlindungi. Dalam kasus muatan berlebih, misalnya, pengemudi seharusnya punya hak untuk menolak mengoperasikan kendaraan tersebut. Ketentuan itu, lanjutnya, harus ada dalam perjanjian kerja antara pengemudi, pemilik kendaraan, dan pemilik barang.
”Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, nakhoda bisa menolak berangkat jika muatan kapalnya berlebih. Sayangnya, di angkutan darat, sopir belum dilibatkan dalam pembuatan perjanjian kerja,” ungkapnya. Akibatnya, sopir kerap menjadi ”kambing hitam” dalam kecelakaan.
Nasib tak jauh beda
Nasib sopir di angkutan barang, lanjutnya, tidak jauh beda dengan angkutan penumpang. Perusahaan otobus, misalnya, dinilai masih jamak menerapkan sistem setoran. ”Jadi, mereka seperti menyewakan kendaraannya. Sopir harus setor, misalnya Rp 2 juta dalam satu rit. Akibatnya, pengemudi mengejar target dan mengabaikan kondisi tubuh. Beberapa kasus kecelakaan dipicu sopir mengantuk,” lanjutnya.
Menurut Eddy, perusahaan angkutan harusnya menetapkan sistem penggajian untuk sopir, bukan setoran. Dengan begitu, sopir bisa bekerja tanpa tekanan target penumpang dan waktu. Di sisi lain, kompetensi pengemudi perlu ditingkatkan.
”Dinas perhubungan di daerah seharusnya tidak hanya melakukan uji KIR, tetapi juga mengedukasi pengemudi tentang kelaikan kendaraan,” ucapnya. Ia juga menyarankan para pengemudi mengikuti pelatihan khusus. Selama ini, pengemudi belajar secara otodidak dengan menjadi kernet.
Sugianto, supervisor PO Garuda Mas Cirebon, mengatakan, pihaknya tidak menerapkan sistem setoran agar sopir bisa fokus berkendara. Pengemudi tidak perlu memikirkan cara menggaet penumpang. Itu sudah dikerjakan oleh agen.
”Berapa pun penumpang, kalau sudah waktunya berangkat, bus akan jalan. Kami bahkan tidak mengoperasikan bus kalau enggak ada penumpang. Seperti saat ini, paling yang jalan 30-35 bus dari 120 bus,” katanya.
Dalam merekrut pengemudi, pihaknya menetapkan sejumlah persyaratan, seperti memiliki surat izin mengemudi, punya pengalaman mengendarai mobil besar, dan hasil tes kesehatan serta tes urine untuk memastikan bebas narkoba. ”Gula darah sopir, misalnya, harus stabil. Kalau tidak, dia kerap mengantuk saat bawa bus,” katanya.
Selain menyediakan sopir cadangan dalam setiap perjalanan bus, pihaknya juga memeriksa kondisi bus sebelum berangkat dan saat tiba di tempat tujuan. Jika merasa ada kekurangan, sopir wajib melaporkan kondisi kendaraan kepada mekanik khusus yang bersiaga 24 jam.
Selama ini, kami juga bingung karena ada beberapa daerah melarang kendaraan besar melintas di jalan nontol. Biasanya, kami mengarahkan kendaraan yang muatannya berlebih untuk keluar di pintu tol berikutnya. Kalau tidak, akan dikenakan denda.
Secara terpisah, Direktur Operasional PT Lintas Marga Sedaya, pengelola Tol Cipali, Agung Prasetyo, mengatakan, pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan untuk membangun jembatan timbang di tol. Kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih nantinya tidak diperbolehkan melalui tol.
”Selama ini, kami juga bingung karena ada beberapa daerah melarang kendaraan besar melintas di jalan nontol. Biasanya, kami mengarahkan kendaraan yang muatannya berlebih untuk keluar di pintu tol berikutnya. Kalau tidak, akan dikenakan denda,” ungkapnya.