Sejumlah nelayan di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, sudah kembali melaut berkat bantuan peralatan tangkap dari berbagai pihak.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
DONGGALA, KOMPAS — Sejumlah nelayan di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, sudah kembali melaut berkat bantuan peralatan tangkap dari berbagai pihak. Para penyintas tsunami yang melanda Donggala tahun lalu itu mendapatkan bantuan perahu yang berbobot lebih besar sehingga mereka bisa menangkap ikan lebih banyak. Dengan demikian, penghasilannya pun meningkat.
Perahu, antara lain, dibantu oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), lembaga kemanusiaan untuk penanganan bencana milik organisasi keagamaan Muhammadiyah. Pada Sabtu (31/8/2019), bantuan diberikan secara simbolis oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir di Desa Tanjung Padang, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulteng.
Perahu dengan panjang 7 meter dengan lebar 60 sentimeter itu dilengkapi dengan mesin ketinting berkekuatan 6,5 PK. Perahu telah dipakai nelayan sejak April 2019.
Total ada 189 perahu dan 250 mesin ketinting yang disumbang MDMC di Kecamatan Sirenja. Selain itu, dibangun juga hunian sementara dan rumah permanen dengan konsep rumah tumbuh bagi penyintas yang rumahnya hancur diterjang tsunami.
”Dengan perahu ini, saya bisa melaut hingga 15 kilometer dari pantai. Banyak ikan air dalam yang bisa ditangkap, seperti cakalang dan batu,” ujar Wahid (44), nelayan Desa Tanjung Padang, yang mendapatkan perahu dari MDMC.
Dengan daya jelajah yang lebih jauh itu, Wahid mendapatkan tak kurang dari Rp 4 juta per bulan dari penjualan ikan. Padahal, dulu dengan modal perahu dayung, ia hanya mendapatkan paling tinggi Rp 1,5 juta setiap bulan.
Wahid mendapatkan tak kurang dari Rp 4 juta per bulan dari penjualan ikan.
Ikan yang ditangkap pun terbatas hanya ikan air permukaan, terutama teri atau rono dalam bahasa setempat. Daya jelajah perahunya paling jauh 1 kilometer dari pantai.
Sebelum mendapatkan perahu bantuan pada April, Wahid tetap melaut dengan perahu dayungnya. Perahu itu dia perbaiki setelah rusak diterjang tsunami pada 28 September 2018.
Adapun Desa Tanjung Padang, desa yang warganya mendapat bantuan, adalah salah satu titik yang dilanda tsunami 11 bulan lalu. Tak ada korban jiwa, tetapi sekitar 50 rumah hancur disapu bersih, termasuk rumah Wahid.
Roni (40), warga Desa Balintuma, yang mendapat bantuan perahu, juga merasakan adanya peningkatan pendapatan dengan perahu yang lebih besar. ”Dulu dengan perahu kecil, saya dapat Rp 100.000 per hari. Dengan perahu cukup besar ini, saya bisa dapatkan Rp 200.000-Rp 300.0000 per hari. Kami sangat terbantu,” ujarnya.
Haedar menyampaikan, bantuan tersebut ibarat kail. Dengan kail, nelayan bisa menangkap ikan. Kail juga dipakai untuk jangka lama. Dengan demikian, ekonomi nelayan berputar terus untuk jangka lama pula.
Bantuan perahu tersebut merupakan bagian dari spirit Muhammadiyah menggelorakan satu jiwa, satu kepedulian dengan penyintas musibah di Indonesia yang tak dibatasi sekat-sekat. ”Kita satu keluarga besar Indonesia, saling berbagi dan peduli,” kata Haidar yang mengenakan ziga, topi khas suku Kaili, salah satu suku di Donggala.
Wakil Ketua Umum MDMC Rahmawati Husein menyatakan, lembaganya bekerja untuk gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulteng sejak masa tanggap darurat sampai fase rehabilitasi-rekonstruksi saat ini. Bentuk bantuan yang diberikan mulai dari bahan pokok, hunian sementara, uang tunai, perbaikan fasilitas umum, dan bantuan alat kerja (perahu). Total bantuan senilai Rp 55 miliar. Untuk itu, MDMC bermitra dengan tujuh donatur luar negeri, antara lain dari Swiss, Korea Utara, dan Amerika Serikat.
Asisten Bidang Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Donggala Yusuf Lamakampali menyampaikan terima kasih atas kerja-kerja kemanusiaan Muhammadiyah di Kabupaten Donggala selama masa tanggap darurat hingga saat ini. Program itu diharapkan memacu penyintas lebih tangguh membangun kehidupan yang lebih baik.