Dinilai Bermasalah, Proses Seleksi Capim KPK Mesti Diulang
Organisasi masyarakat sipil dan lembaga yang fokus terhadap isu antikorupsi di Padang, Sumatera Barat, menilai proses seleksi calon pimpinan KPK bermasalah. Presiden diharapkan turun tangan untuk mencoret calon pimpinan KPK yang tidak kredibel dan mengulang proses seleksi dengan tim seleksi baru.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Organisasi masyarakat sipil dan lembaga yang fokus terhadap isu antikorupsi di Padang, Sumatera Barat, menilai proses seleksi calon pimpinan KPK bermasalah. Presiden diharapkan turun tangan untuk mencoret calon pimpinan KPK yang tidak kredibel dan mengulang proses seleksi dengan tim seleksi baru.
Pengampanye Lembaga Bantuan Hukum Diki Rafiqi di Padang, Rabu (28/8/2019), mengatakan, proses seleksi calon pimpinan (capim) KPK yang sekarang menyisakan 20 orang bermasalah karena sebagian besar calon yang lulus diragukan integritas dan kredibilitasnya. Salah satu indikatornya, masih ada capim yang tidak menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN.
"LHKPN menunjukkan integritas pejabat negara. Kredibilitas capim diuji di sana, apakah dia rajin melaporkan keuangannya setiap tahun atau tidak. Capim tidak layak lolos jika tidak melaporkan LHKPN," kata Diki di sela-sela konsolidasi organisasi masyarakat sipil dan lembaga lain yang fokus terhadap isu antikorupsi.
Menurut Diki, tim seleksi capim KPK semestinya tidak meloloskan calon yang tidak melaporkan LHKPN. Tim seleksi harus ketat dalam melihat integritas dan kredibilitas capim dengan memperhatikan rekam jejak mereka. Sebab, integritas dan kredibilitas capim sangat dibutuhkan dalam memimpin KPK.
Jika integritas dan kredibilitas pimpinan KPK diragukan, posisi lembaga antirasuah itu akan lemah dan menyulitkan upaya pemberantasan korupsi. Dalam penyerahan LHKPN, misalnya, KPK akan kesulitan meminta lembaga negara lainnya untuk terbuka karena pimpinan KPK sendiri tidak terbuka.
"Kami berharap presiden turun tangan dengan mencoret capim yang bermasalah. Pimpinan KPK ke depan harus teruji dan tidak bisa diintervensi oleh lembaga apapun," ujar Diki.
Peneliti Pusat Studi Konsitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Maulana Fajri Adrian berpendapat, tim seleksi semestinya memperhatikan latar belakang dan instansi capim yang akan diloloskan. Jangan sampai capim yang terpilih tidak punya visi tajam dan mudah diintervensi instansi tempat ia mengabdi.
Sementara itu, terkait lolosnya capim yang tidak menyerahkan LHKPN, Fajri menilai hal itu akan menjadi penilaian buruk bagi KPK. Apalagi jika capim itu lolos jadi pimpinan. Hal itu akan menurunkan kepercayaan publik kepada KPK karena integritas dan kredibilitas pimpinannya diragukan.
"Terlepas dari perdebatan wajib atau tidaknya menyerahkan LHKPN, semestinya menjadi nilai lebih bagi capim. Kenapa harus risih kalau bersih (dari korupsi)? Dalam proses seleksi capim KPK, penyerahan LHKPN semestinya memang menjadi kewajiban," kata Maulana.
Dihubungi terpisah, Koordinator Integritas, lembaga antikorupsi di Padang, Arief Paderi mengatakan, proses seleksi capim KPK memang sudah bermasalah sejak awal. Publik dari awal sudah protes terkait integritas maupun kompetensi tim seleksi yang dibentuk. Permasalahan itu turut berdampak pada hasil seleksi.
"Tim seleksi yang dibentuk banyak bermasalah dari segi integritas. Ada orang yang punya rekam jejak ikut dalam pelemahan KPK, lolos menjadi tim seleksi. Ada juga tim seleksi yang punya integritas bagus, tetapi tidak punya kompetensi dalam isu antikorupsi sehingga mudah diintervensi," kata Arief.
Menurut Arief, selain tidak mewajibkan penyerahan LHKPN, bentuk kejanggalan lain dari tim seleksi capim KPK adalah tidak transparannya proses seleksi. Nilai dan proses dari setiap calon yang ikut seleksi tidak diumumkan ke publik. Padahal pada seleksi periode sebelumnya selalu diumumkan. Capim yang diduga bermasalah pun akhirnya lolos seleksi.
Arief pun berharap presiden menolak usulan capim yang diserahkan tim seleksi dan menganggap semua proses dilakukan tim seleksi tidak sah. Sebab, proses pembentukan tim seleksi saja bermasalah. Presiden mesti membetuk tim seleksi baru dan kembali memulai seleksi dari awal.